Revisi UUPA Tidak Hanya Meminta Perpanjangan Dana Otsus

BANDA ACEH | AcehNews.Net – Tidak terasa sejak diberlakukannya UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh atau yang disingkat dengan UUPA, kini kabar yang beredar di masyarakat Aceh, Pemerintah akan melakukan perubahan terhadap UUPA.

 

Perubahan UUPA dikumandangkan oleh Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan saat ini telah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Badan Legislasi DPR RI dari 41 usulan prioritas Rancangan Undang-Undang yang akan dibahas di DPR-RI.

 

Seiring dengan terbukanya peluang untuk melakukan perubahan terhadap UUPA, Pemerintah Aceh telah siap pula dengan konsep dan pemikirannya yang terangkum di dalam sebuah Naskah Akademik yang nantinya akan diberikan dan menjadi masukan kepada Pemerintah Pusat di dalam melakukan perubahan terhadap UUPA.

 

Kabarnya juga, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Aceh telah melakukan sosialisasi dan menjaring aspirasi di 23 Kabupaten/Kota untuk menangkap aspirasi masyarakat terhadap revisi UUPA.

 

Secara hukum kewenangan untuk membuat dan mengubah peraturan perundang-undangan berupa undang-undang adalah kewenangan dari Pemerintah Republik Indonesia dan DPR-RI yang dilakukan dengan persetujuan bersama kedua lembaga tersebut.

 

Pertanyaan kemudian adalah, apakah aspirasi yang disampaikan dalam bentuk Naskah Akademik versinya Pemerintah Aceh akan diakomodir oleh Pemerintah Pusat dan DPR-RI atau bahkan nantinya akan lahir versi yang lainnya dan bahkan akan menghilangkan esensi dari Kekhususan Aceh itu sendiri?.

 

Pengalaman menunjukkan, kewenangan Aceh selaku daerah yang diberikan otonomi khusus selalu dikalahkan dengan produk hukum yang sektoral. Bahkan jika berbicara kewenangan yang dibagi (Kewenangan Kongkuren) face to face dengan kewenangan yang ada di dalam UUPA, Aceh masih harus mengikuti norma, standar dan prosedur yang diberlakukan oleh Pemerintah Pusat. Misalnya saja terhadap investasi luar negeri, sektor kelautan dan perikanan, perizinan dan sektor-sektor lainnya.

 

Bahkan melalui UUPA sebagaimana yang disebutkan di dalam ketentuan Pasal 7 ayat (2) UUPA yang menyatakan kewenangan Pemerintah Pusat yang absolute yang seharusnya hanya kewenangan di bidang politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional dan urusan tertentu dalam bidang agama, namun oleh Pemerintah Pusat ditambah dengan Kewenangan Yang Bersifat Nasional.

 

Kewenangan yang bersifat nasional inilah yang kemudian adalah kewenangan Pemerintah Pusat di dalam urusan-urusan Pemerintahan yang bersifat Wajib dan Pilihan yang kemudian dituangkan dalam PP Nomor 35 Tahun 2015 tentang Kewenangan Pemerintah Yang Bersifat Nasional di Aceh.

 

Celakanya adalah pemerintah juga melakukan perubahan terhadap UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang juga membagi kewenangan masing-masing tingkatan Pemerintahan baik di Pemerintah Pusat dan Provinsi dan Kabupaten/Kota.

 

Dengan demikian walaupun disebutkan di dalam UUPA “Pemerintah Aceh dan Kabupaten/Kota berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam semua sektor publik”, namun dengan adanya kewenangan Pemerintah yang Bersifat Nasional di Aceh dan UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang telah membagi urusan Pemerintahan, maka pemberlakuan UUPA masih harus mengikuti kewenangan pemerintah pusat yang bersifat nasional di Aceh dan kewenangan dalam menjalankan urusan pemerintahan di Aceh harus mengacu kepada norma, standar dan prosedur yang diberlakukan oleh Pemerintah Pusat.

 

Hal ini juga sebagaimana ketentuan di dalam Pasal 11 ayat (1) UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh yang menyatakan “Pemerintah menetapkan norma, standardan prosedur serta melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan urusan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota”.

 

Konflik regulasi tersebut menggambarkan bahwa kewenangan khusus yang ada di dalam UUPA tidak dapat dijalankan sepenuhnya dan fakta-fakta selama ini menunjukkan, Aceh masih membutuhkan persetujuan Pemerintah Pusat dalam menjalankan berbagai urusan pemerintahannya.

 

Hal ini juga menunjukkan betapa pentingnya menjadi penting dalam perubahan UUPA. Jika norma, standar dan prosedur tersebut masih menjadi kewenangan dari Pemerintah Pusat, artinya adalah bidang apapun yang dilakukan oleh Pemerintah Aceh dalam menjalankan urusan pemerintahannya harus mengacu pada norma, standar dan prosedur yang telah ditetapkan oleh Pemerintah Pusat dengan berbagai macam peraturan perundang-undangan sektoralnya yang bisa saja bertolak belakang dengan kondisi ke-Aceh-an.

 

Advokasi Bersama

 

Sadar ataupun tidak, sejatinya perubahan UUPA tesebut tidak hanya untuk memperpanjang Dana Otonomi Khusus Aceh yang saat ini hanya tinggal satu persen lagi sampai dengan 2027. Karena yang perlu disadari bahwa diperpanjang pun Dana Otsus tersebut jika pengelolaannya hanya dilakukan untuk menjalankan program-program pragmatis maka kondisi Aceh akan sama saja seperti saat ini.

 

Sebagai masyarakat Aceh, penulis berharap implementasi Dana Otsus tersebut harus mampu menghapus stigma kemiskinan yang saat ini melanda Aceh, sebagaimana amanah dari UUPA Dana Otsus untuk membiayai pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur, pemberdayaan ekonomi rakyat, pengentasan kemiskinan, serta pendanaan pendidikan, sosial dan kesehatan. Maka harusnya, sektor-sektor tersebut harusnya lebih baik dan Aceh telah bebas dari kemiskinan.

 

Pemerintah Pusat dan Pemerintah Aceh perlu duduk bersama di dalam merumuskan kembali UUPA dan yang perlu dilakukan adalah harus adanya forum bersama antara Pemerintah Aceh dan Pemerintah Pusat untuk membicarakan lebih jauh tentang kewenangan Pemerintah Pusat di dalam menetapkan norma, standar dan prosedur.

 

Walaupun kewenangan dalam membentuk undang-undang ada pada Pemerintah Pusat dan DPR-RI, namun perlu digarisbawahi bahwa Pemerintah Pusat dan DPR-RI perlu duduk bersama dengan stakeholder di Aceh yaitu Pemerintah Aceh dan DPRA karena sesuai dengan Pasal 8 ayat (2) UUPA menegaskan bahwa Rencana pembentukan undang-undang oleh DPR yang berkaitan langsung dengan Pemerintahan Aceh dilakukan dengan konsultasi dan pertimbangan DPR Aceh.

 

Hal inilah yang menjadi bahagian penting di dalam bernegara dan mewujudkan keiklasan dari Pemerintah Pusat dalam mendukung pembangunan Aceh di masa depan.

 

Bahrul Ulum., SH, MH

Praktisi Hukum, Pengamat Pemerintahan, 

Ketua Bapilu Partai Bulan Bintang Aceh. 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *