Sehari, 17 Pasangan Suami-Istri di Aceh, Bercerai

AcehNews.net | KUALA SIMPANG – Dalam sehari, sekitar 17 pasangan suami-itri di Aceh, bercerai. Dalam periode Januari hingga Desember 2023, data dari Mahkamah Syar’iyah Aceh, mencatat, ada sebanyak 6.091 Pasangan yang mengajukan perceraian.

“Jika dihitung dengan acuan dalam setahun 365 hari, maka ada 17 pasangan yang bercerai setiap harinya. Perceraian ini terbagi dalam dua katagori, baik cerai gugat maupun cerai talak,” sebut Manager Kasus dan Advokasi Yayasan Bantuan Hukum Anak (YBHA) Peutuah Mandiri, Vatta Arisva, pada Minggu (21/1/2024), di Kuala Simpang, Kabupaten Aceh Tamiang, Provinsi Aceh.

Sementara itu, lima kabupaten/kota di Aceh yang tertinggi kasus cerainya Kabupaten Aceh Utara, Aceh Tamiang, Aceh Tengah, Aceh Timur, dan Bireuen. Angka ini, kata Vatta, sungguh mengiris hati dan menyita perhatian publik. Rumah tangga yang seharusnya dibangun atas dasar cinta dan kasih sayang pada awalnya, mesti berakhir dengan perceraian.

“Tentu banyak penyebab yang terungkap adalam setiap perceraian itu. Dan langkah perceraian adalah alternatif terakhir yang diambil,” katanya lagi.

Yayasan Bantuan Hukum Anak Peutuah Mandiri, cukup prihatin dengan tingginya angka perceraian yang terjadi di Aceh. Menurut Vatta, tingginya kasus perceraian tersebut mesti menjadi tanggungjawab bersama segenap pemangku kebijakan dan lintas sektor, agar kedepannya dapat kasus perceraian di Aceh semakin berkurang.

“Peran lembaga peradilan yang memutus perceraian, tentunya mesti mengefektifkan proses mediasi agar jangan sampai perceraian terjadi.” ujarnya.

Menurut Vatta, peran lembaga peradilan sudah sepatutnya mengupayakan secara maksimal agar setiap rumah tangga yang berada diujung tanduk tersebut dapat kembali harmonis dan damai.

“Sehingga tujuan pernikahan yakni sakinah mawaddah dan warahmah dapat tercapai,” ungkapnya.

Sambungnya, peranan lembaga peradilan diatas, tentu mesti didukung oleh berbagai pihak. KUA sebagai corong awal perkawinan, sudah semestinya mendorong upaya penyadaran pra-perkawinan bagi setiap pasangan yang akan menikah.

Manager YBHA Peutuah Mandiri, mengatakan, para calon pengantin mestilah diberikan pemahaman yang utuh akan potensi riak dan gejolak rumah tangga yang akan terjadi, serta solusi cara menghadapi hal tersebut.

Karena, menurut Vatta, harus diakui, niat menikah pada awalnya sangat mulia, akan tetapi seiring berjalan mulai muncul distraksi dalam rumah tangga yang sebagiannya tidak sanggup menghadapi hal tersebut dan memilih jalur percaraian.

“Setiap rumah tangga pasti ada keributan. Proses pendewasaan suami-istri bukanlah dari banyaknya konflik yang terjadi, akan tetapi dari bagaimana suami-istri belajar dalam setiap konflik mereka agar dapat menjadi semakin baik dalam berumah tangga,” kata Vatta.

YBHA mendesak KUA harus membuka ruang terbuka bagi kedua pasangan yang akan melangsungkan perkawinan untuk membicarakan dari hati ke hati terkait perbedaan pandangan, pekerjaan (ekonomi), mendidik anak, dan lain sebagainya yang bisa saja muncul di kemudian hari.

“Dengan adanya pembicaraan tersebut yang berpondasikan pengetahuan agama yang cukup, dapat memperkokoh kehidupan berumah tangga. Kemudian adanya penekanan-penekanan terkait kedewasaan dalam menghadapi suatu masalah mestilah dikedepankan,” tandasnya.

Materi terkait dengan membangun dan merencanakan rumah tangga, dinamika, kebutuhan, serta kesehatan reproduksi dan ketahanan rumah tangga sudah menjadi bahan materi pranikah di seluruh KUA. Yayasan tersebut berharap bukan hanya sekedar penyampaian materi, namun lebih kepada sejauh mana materi yang diajarkan mampu untuk direalisasikan di dalam mengarungi bahtera rumah tangga. (Echi)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *