Keluarga Paling Bahagia di Indonesia Ada di Aceh

AcehNews.net|BANDA ACEH – Kepala Badan Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Dokter Hasto, saat kunjungan kerjanya ke Aceh, 28 hingga 29 Februari 2024 lalu, mengatakan, bahwa keluarga paling bahagia di Indonesia adalah keluarga di Provinsi Aceh. Pasalnya Aceh masih berada diperingkat teratas atau menjadi urutan pertama keluarga paling bahagia di Indonesia.

Tren i-Bangga Provinsi Aceh dari 2021 hingga 2023 terus mengalami kenaikan tingkat kebahagiannya. Data dari New SIGA (Sistim Informasi Keluarga) milik BKKBN mencatat, pada 2021, Indeks Pembangunan Keluarga (i-Bangga) sebesar 58,4%, kemudian 2022 terus naik menjadi 57,8% dan pada 2023 naik dratis menjadi 65,38%. Angka kebahagian ini di atas angka nasional yaitu sebesar 61,43%. Selain Aceh, Provinsi Bali dan Kepualau Riau, berada diurutan kedua dan ketiga, dengan masing-masing i-Bangga sebesar 64,96% dan 64,81%.

Sementara jika dilihat kabupaten/ kota di Aceh keluarga paling bahagia yaitu, Kabupaten Bener Meriah tercatat sebagai kabupaten dengan I-Bangga tertinggi di Aceh yaitu sebesar 69,48%. angka ini kebahagian ini jauh lebih tinggi dari i-Bangga Aceh dan nasional. Setelah Bener Meriah, urutan kedua di Kota Sabang, 69,41%, kemudian Kota Banda Aceh, Indeks Pembangunan Keluarganya sebesar 68,91%, dan Kabupaten Aceh Tengah, sebesar 68,09&.

“Kita BKKBN membuat indeks kebahagiaan keluarga, karena BKKBN visinya keluarga berkualitas. Saya apresiasi untuk Aceh. i-Bangga Aceh 65,38 persen, paling tinggi se Indonesia. Indikatornya tiga yaitu tenteram, mandiri, bahagia,” jelas Dokter Hasto.

Indeks Pembangunan Keluarga merupakan suatu pengukuran kualitas keluarga yang ditujukan melalui ketenteraman, kemandirian, dan kebahagiaan keluarga. Salahsatu yang dihasilkan oleh i-Bangga adalah terpotretnya gambaran akan peran dan fungsi keluarga untuk semua wilayah Indonesia.

Hasil dari indeks tersebut digunakan untuk mengklasifikasikan status pembangunan keluarga melalui kategori tangguh, berkembang, atau rentan.

Meskipun menjadi provinsi paling bahagia, Aceh masih memiliki banyak ‘PR’ yang perlu di prioritaskan dałam program Pembangunan Keluarga, Kependudukan dan Keluarga Berencana (Bangga Kencana) dań Percepatan Penurunan Stunting.

Dokter Hasto dalam paparannya menjelaskan, secara detil data-data apa saja yang harus di perhatikan oleh Provinsi Aceh. Pertama, persentase pemakaian kontrasepsi modern (mCPR) masih agak tinggi yaitu 50,72%. Artinya, pasangan usia subur yang ber-KB rata-rata baru 50%. Angka nasional menunjukkan mCPR rata-rata adalah 60,4%. Kedua, Unmet need atau kebutuhan KB yang belum terpenuhi di Provinsi Aceh adalah 13,4%.

Terkait stunting, berdasarkan Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) 2022, prevalensi stunting di Provinsi Aceh di angka 31,2%. Artinya, tren penurunannya belum signifikan.

“Sebetulnya kami punya target untuk Aceh. Per kabupaten sudah kita targetkan berdasarkan proyeksi. Targetnya sudah kita pasang tidak sampai menyentuh 14 persen di 2024 karena angkanya terlalu berat. Tetapi arahan presiden betu-betul sampai 14 persen,” lanjut dokter Hasto.

Presiden sendiri, kata Dokter Hasto, memerintahkan agar penurunan stunting fokus kepada keluarga. “Stunting related dengan angka kematian ibu, angka kematian bayi, dan juga rata-rata kehamilan,” tegas Dokter Hasto.

Menyebut Aceh, Dokter Hasto lebih jauh mengatakan di wilayah ini perempuan melahirkan rata-rata (TFR) masih di angka 2,42 (Long Form SP2020, BPS ). Masih di atas angka nasional 2,1%.

“Dari 23 kabupaten/kota, hanya Kota Banda Aceh yang angkanya di bawah nasional, yaitu 2,04 persen,“ sebut dokter Hasto.

Kondisi ini menunjukkan jumlah anak di Aceh cukup banyak. Kata dokter Hasto, makin banyak jumlah anak, stunting makin tinggi, karena biasanya jarak kelahiran terlalu rapat.

Dari data diketahui pula Angka Tingkat Kelahiran Remaja (ASFR 15-19 Tahun) di Aceh 16,40%. “Ini bagus karena ternyata orang Aceh yang hamil terlalu muda usia 15-19 tahun termasuk baik. Kalau nasional 26,64%. Artinya, setiap 1000 orang perempuan Indonesia yang sudah hamil antara usia 15-19 tahun sebanyak 26 orang. “Aceh, Alhamdulillah, hamil mudanya tidak terlalu banyak,” ujar dokter Hasto.

Namun begitu, dari data yang ada, tiga kabupaten memerlukan perhatian lebih karena angka hamil mudanya masih tinggi, yaitu Kabupaten Gayo Lues 46,8 %; Simeuleu 44,3%; dan Aceh Tenggara 38,3%. Prioritas untuk ketiga Kabupaten tersebut adalah mencegah kawin usia anak.

“Data yang ada itu harus hidup dan kita hidupkan. Kalau kita programnya tidak di’guidance’, oleh data, kita habis uang banyak, tetapi nga ngefek,” tandas dokter Hasto.

Sementara itu, diketahui dari data, angka kematian ibu di tingkat nasional tercatat 189 per 100.000 kelahiran hidup. Di Aceh setiap 100.000 ibu melahirkan, yang meninggal sebanyak 201 orang. Bandingkan dengan Singapura, dari 100.000 kelahiran yang meninggal tujuh orang.

Menurut Dokter Hasto, jarak kelahiran antar anak yang tidak terlalu dekat akan berdampak positif dimana kasus stunting kematian ibu dan bayi akan turun.

Angka kematian bayi (AKB) di Aceh diketahui cukup tinggi sebesar 19,41 per 1000 kelahiran hidup. Adapun AKB nasional di angka 16,85 per 1000 kelahiran hidup. AKB di Aceh di atas rata-rata nasional.

Keluarga Berisiko Stunting

Dokter Hasto juga memberikan data terkait keluarga berisiko stunting (KRS) di Provinsi Aceh. Jumlah keluarga berisiko stunting (KRS) hingga semester II tahun 2023 di Aceh sebanyak 275.505 (Pemutakhiran PK-23)

Dari jumlah itu, jumlah keluarga berisiko stunting miskin ekstrem sebanyak 60.149 keluarga dan 166.543 keluarga berisiko stunting miskin dan rentan. Jumlah KRS terbanyak berada di Kabupaten Aceh Utara, Pidié dan Aceh Timur. “KRS di Aceh angkanya turun terus sampai saat ini. Trennya cukup baik,” puji dokter Hasto.

Dilansir dari data Verval KRS 2023, dari seluruh wilayah di Provinsi Aceh, Kota Sabulussalam memiliki persentase terbesar pada indikator sumber air minum tidak layak yakni 13,28%, diikuti Simeulue 10,82%. Sementara indikator jamban tidak layak, Gayo Lues tertinggi dengan persentase 35,61% dan Pidie 28,11%.

Sementara indikator rumah tidak layak huni, Kabupaten Aceh Utara menunjukkan jumlah keluarga sebanyak 38.966 di posisi pertama, diikuti Aceh Timur sejumlah 30.996 keluarga.

Dari keluarga sasaran sejumlah 798.717 keluarga, menurut dokter Hasto, inilah sumber stunting yang perlu diperhatikan, khususnya Pasangan Usia Subur (PUS). Ternyata di Aceh sumber stuntingnya ada dua yaitu terlalu tua melahirkan sebanyak 51,87% dan terlalu banyak anak dengan jumlah 64,47 %.

Seperti biasa, dokter Hasto memberikan simulasi dan tips-tips dengan data agar stunting segera turun.
Untuk Provinsi Aceh, lanjutnya, dengan jumlah Tim Pendamping Keluarga (TPK) di Aceh sebanyak 22.410, terdapat sekitar 18 kehamilan per 1000 penduduk, jika jumlah penduduk sebanyak 5,5 juta.

Dengan jumlah tersebut diperkirakan pertahunnya, akan ada perempuan yang hamil dan melahirkan berjumlah 99 ribu. Sehingga perbulannya ada sekitar 8.250 Perempuan hamil. Diperkirakan per hari akan ada 275 perempuan hamil dengan risiko stunting kurang lebih 82 orang.

“Jika jumlah pendamping keluarga sebanyak 22.410, per kader hanya akan mendampingi ibu hamil dengan empat hingga lima kasus per tahunnya,” tandas Ddokter Hasto. (San)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *