Peumenap dan Seumeuleung Raja Daya Kembali Digelar di Aceh Jaya

AcehNews.net|ACEH JAYA – Wakil Gubernur Aceh, H. Muzakir Manaf menjadi tamu agung dalam acara Peumenap dan Seumeuleung Raja Daya di Astaka Diraja (aula utama) Komplek Makam Sultan Alaiddin Riayatsyah atau lebih dikenal dengan Poe Teumeurehom, di Gampong Gle Jong, Kecamatan Jaya, Kabupaten Aceh Jaya, Kamis (14/09/2016). Sementara itu, raja-raja dalam wilayah kekuasaan Kerajaan Kuala Daya menjadi tamu kehormatan.

Selain Wakil Gubernur, H. Muzakir Manaf serta Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), Muharuddin, beserta rombongan, TA. Khalid dan Safriantoni,  Sekda Aceh Jaya, Teuku Irfan TB, juga menjadi tamu agung dalam acara tersebut.

Para tamu agung itu dipeusijuek oleh Tengku H. Faisal, keturunan langsung dari Mufti Besar Kerajaan Daya. Selain itu, para tamu tersebut juga dihadiahi buku berjudul Kemilau Warisan Budaya Aceh karya H. Harun Keuchik Leumiek.

Di antara raja-raja yang hadir pada acara Peumeunap dan Seumeuleueng adalah Pewaris Radja Kuala Batu, Radja Lingge, Radja Singkil, Radja Samalanga, Radja Trumon, Radja Bubon, Radja Kluet, Radja Teunom, Radja Rigah, Radja Senagan, Radja Kuala Unga, Radja Cunda, serta Radja Pedir.

Pemenap adalah bahasa Aceh yang berasal dari kata peunap. Artinya Menunggu. Jadi, pemenap adalah menunggu raja makan. Sedangkan Seumeulueng berasal dari kata suleueng atau suap yang artinya menyuapi.

Prosesi acara, diawali dengan masuknya raja ke Astaka Diraja sembari menyapa raja-raja dari berbagai wilayah kekuasaannya. Raja lantas duduk di atas tilam emas bersulam kapas. Dayang yang berada di depan raja kemudian membasuh tangan raja dan juga Mualem, sapaan akrab Muzakir Manaf selaku Tamu Agung Raja Daya.

Lantas, dayang membuka hidangan dan mempersilakan raja untuk makan. Tapi raja diam saja. Beliau mengabaikan atau peunap, dalam artian menunggu disuapi oleh dayang. Prosesi dilanjutkan dengan dayang yang kemudian menyuapkan nasi ke mulut raja. Hal itu disebut seumeuleueng.

Wakil Bupati Aceh Jaya, Tengku Maulidi, menyebutkan proses Peumeunap dan Seumeuleueng merupakan acara adat yang telah dilakukan secara turun-temurun. “Ini adalah bentuk pelestarian  budaya dalam rangka memperingati lahirnya Kerajaan Daya,” ujarnya.

Proses Peumunap dan Seumeuleung dilakukan pertama kali di saat Kerajaan Nanggroe Daya dideklarasi pada 10 Zulhijjah atau pada hari raya pertama Idul Adha. Kerajaan ini kata Maulidi, diketahui punya relasi yang luas, atau telah membangun hubungan bilateral dengan berbagai negara sehingga saat dideklarasi banyak perwakilan negara yang hadir seperti dari Amerika Serikat, Inggris dan Portugis.

“Melalui acara ini kita mengharapkan bisa memberi motivasi bagi masyarakat Aceh khususnya Aceh Jaya dalam mempertahankan adat dan budaya kita,” kata Teungku Maulidi.

Awal terbentuk Kerajaan Daya adalah saat Poe Temereuhom diutus untuk Sultan Aceh untuk mengatasi kemelut yang dihadapi empat kerajaan kecil di negeri Daya. Keempat kerajaan kecil itu adalah Kerajaan Keuluang, Lamno, Kuala Unga dan Kuala Daya. Saat Sultan Alaiddin Riayatsyah tiba, beliau mengumpulkan keempat raja dan mendeklarasikan berdirinya Kerajaan Daya pada hari pertama Idul Adha.

Poe Teumereuhom, julukan sang sultan dikenal juga sebagai pelahir adat di bumi Aceh. Tak heran jika kemudian jika ada sebuah nazam: Adat bak Poe Teumeureuhom, Hukom Bak Syah Kuala, Qanun Bak Putro Phang, Reusam bak Laksamana.

Wakil Gubernur Aceh, Muzakir Manaf menyebutkan, pemahaman sejarah oleh masyarakat adalah cerminan bangsa yang besar. Suatu bangsa akan hilang jatidirinya saat bangsa tersebut melupakan akar sejarahnya.

“Mari kita sama-sama menggiatkan ragam pelestarian budaya sehingga kita benar-benar menjadi bangsa yang besar,” kata Muzakir Manaf.

Sejarah Indonesia, lanjut Mualem tak lepas dari perjuangan bangsa Aceh dalam mempertahankan daerah dari jajahan Belanda. Indonesia bahkan tak akan pernah punya wilayah, jika Aceh tak memaklumatkan diri sebagai bagian dari bangsa Indonesia. “Aceh adalah modal bangsa ini.” Karena itu, Mualem mengajak seluruh masyarakat untuk sama-sama lebih sadar budaya dengan lebih giat melestarikan budaya Aceh.

Setelah perdamaian Helsinki, Provinsi Aceh juga punya Lembaga Wali Nanggroe. Lewat lembaga ini, segala adat dan kebudayaan Aceh diharapkan mampu kembali dilestarikan.

Ketua Aswaja, Tengku Bulqaini, menyebutkan Aceh akan maju di saat generasi bangsa mau menjaga adat budaya dan agama. Karena itu, Tu Bulqaini, sapaannya, mengajak seluruh generasi Aceh untuk sama-sama menjaga adat istiadat Aceh yang sangat kentara dengan nuansa keislamannya.

Sementara itu, Ketua DPR Aceh, Muharuddin, yang juga menjadi tamu agung dalam perayaan budaya tersebut, menyebutkan masyarakat Aceh, mulai dari pemimpin hingga rakyat harus menjaga budaya Aceh. Sejarah, katanya, akan hilang saat anak bangsa tidak mau menjaga budayanya. “Itu tanda kehancuran bangsa,” demikian ujarnya.  (saniah ls/ril)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *