Lingkungan Pendidikan Tanpa Kekerasan Seksual

Oleh Nita Juniarti
(Jurnalis Perempuan di Aceh)

Acehnews.net – Lingkungan pendidikan tanpa kekerasan seksual pasti keren. Apalagi jika sekolah menerapkan lingkungan pendidikan yang ramah anak.

Pada 2019 lalu, ada sebuah kasus sangat hits di Provinsi Aceh karena melibatkan oknum pendidik yang cukup tamasyur di kalangan dunia pendidikan. Kasus tentang pelecehan seksual terhadap siswa yang ketika itu diputuskan harus memakai qanun atau Undang-Undang perlindungan anak.

Kenapa hal itu bisa terjadi? Di Provinsi Aceh, sungguh tabu menjelaskan atau mengajarkan anak tentang seks. Selain itu, kekerasan seksual, pelecehan jika diceritakan dianggap sebagai aib. Inilah yang membuat banyak kasus ditutup atau banyak korban tutup mulut.

Ketika sosialisasi bersama P2TP2A Aceh Barat Daya, pada anak sekolah dasar diajarkan ada empat yang menjadi kriteria kekerasan. Keempat kekerasan tersebut adalah kekerasan fisik, psikologi, sosial, dan seksual. Pada keempat kekerasan itu, yang sangat sulit dijabarkan adalah kekerasan seksual.

Mengapa? Tentu ini menjadi pertanyaan besar bagi sebagian orang di luar Aceh.

Pada pemahaman hukum, kekerasan seksual harus punya bukti yang cukup kuat baru bisa diusut. Padahal ada banyak hal yang ditempuh oleh korban kekerasan seksual, di mulai dari tonic immobility ketika kejadian mengalami kelumpuhan tanpa berteriak atau melawan sehingga ketika selesai kejadjan dan saat membuat pernyataan malah dianggap mengada-ngada. Atau lebih dikenal dengan tuduhan palsu.

Tuduhan palsu sebab tidak ada bukti, aturan hukum hukum yang detail dan juga ketika bercerita dan melaporkan malah dianggap sebagai penyebaran aib.

Menyikapi hal ini lantas apa yang bisa dilakukan? Secara luas kekerasan seksual bukan hanya pemerkosaan namun menyebarkan foto telanjang, memaksa berhubungan seksual sekalipun suami istri, aborsi, melecehkan secara perkataan dan lain-lain.

Menurut badan kesehatan dunia, World Health Organization atau WHO, kekerasan seksual dapat diartikan sebagai segala perilaku yang dilakukan dengan menyasar seksualitas atau organ seksual seseorang tanpa mendapatkan persetujuan, dan memiliki unsur paksaan atau ancaman. Pelaku kekerasan seksual tidak terbatas oleh gender dan hubungan dengan korban.

Menurut Komnas Perempuan, setidaknya ada 15 perilaku yang bisa dikelompokkan sebagai bentuk kekerasan seksual, yaitu:

1.Perkosaan

Perkosaan adalah serangan dalam bentuk pemaksaan hubungan seksual dengan memakai penis ke arah vagina, anus atau mulut kotban. Bisa juga mengggunakan jari tangan atau benda-benda lainnya.

Serangan dilakukan dengan kekerasan, ancaman kekerasan, penahanan, tekanan psikologis, penyalahgunaan kekuasaan, atau dengan mengambil kesempatan dari lingkungan yang penuh paksaan.

2.Intimidasi seksual termasuk ancaman atau percobaan perkosaan.

Intimidasi seksual yaitu tindakan yang menyerang seksualitas untuk menimbulkan rasa takut atau penderitaan psikis pada perempuan korban. Intimidasi seksual bisa disampaikan secara langsung maupun tidak langsung memalui surat, sms, email, dan lain-lain.

3. Pelecehan seksual.

Pelecehan seksual merupakan tindakan seksual lewat sentuhan fisik maupun non-fisik dengan sasaran organ seksual atau atau seksualitas korban.

4. Eksploitasi seksual.

Eksploitasi seksual merupakan tindakan penyalahgunaan kekuasaan yang timpang atau penyalahgunaan kepercayaan, untuk tujuan kepuasan seksual, maupun untuk memperoleh keuntungan dalam bentuk uang, sosial, politik dan lainnya.

5. Perdagangan perempuan untuk tujuan seksual.

Perdagangan perempuan dengan tindakan merekrut, mengangkut, menampung, mengirim, memindahkan, atau menerima seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang, atau pemberian bayaran atau manfaat terhadap korban secara langsung maupun orang lain yang menguasainya, untuk tujuan prostitusi ataupun eksploitasi seksual lainnya.

6. Prostitusi paksa.

Prostitusi paksa adalah situasi di mana perempuan mengalami tipu daya, ancaman maupun kekerasan untuk menjadi pekerja seks.

7. Perbudakan seksual

8. Pemaksaan perkawinan, termasuk cerai gantung.

Perbudakan seksual adalah situasi di mana pelaku merasa menjadi “pemilik” atas tubuh korban sehingga berhak untuk melakukan apapun, termasuk memperoleh kepuasan seksual melalui pemerkosaan atau bentuk lain kekerasan seksual.

9. Pemaksaan kehamilan.

Pemaksaan perkawinan dimasukkan sebagai jenis kekerasan seksual karena pemaksaan hubungan seksual menjadi bagian tidak terpisahkan dari perkawinan yang tidak diinginkan oleh perempuan tersebut.

10. Pemaksaan aborsi.

Pemaksaan kehamilan adalah situasi ketika perempuan dipaksa, dengan kekerasan maupun ancaman kekerasan, untuk melanjutkan kehamilan yang tidak dia kehendaki.

11. Pemaksaan kontrasepsi seperti memaksa tidak mau menggunakan kondom saat berhubungan dan sterilisasi.

Disebut pemaksaan ketika pemasangan alat kontrasepsi dan, atau pelaksanaan sterilisasi tanpa persetujuan utuh dari perempuan karena ia tidak mendapat informasi yang lengkap ataupun dianggap tidak cakap hukum untuk dapat memberikan persetujuan.

12. Penyiksaan seksual.

Penyiksaan seksual adalah tindakan khusus menyerang organ dan seksualitas perempuan, yang dilakukan dengan sengaja, sehingga menimbulkan rasa sakit atau penderitaan hebat, baik jasmani, rohani maupun seksual.

13. Penghukuman tidak manusiawi dan bernuansa seksual.

Penghukuman tidak manusiawi dan bernuansa seksual yang dimaksudkan adalah cara menghukum yang menyebabkan penderitaan, kesakitan, ketakutan, atau rasa malu yang luar biasa yang tidak bisa tidak termasuk dalam penyiksaan.

14. Praktik tradisi bernuansa seksual yang membahayakan atau mendiskriminasi perempuan (misalnya sunat perempuan).

15. Kontrol seksual, termasuk lewat aturan diskriminatif beralasan moralitas dan agama.

Kekerasan seksual dan bisa dialami tidak hanya oleh perempuan, tapi juga anak dan laki-laki, seperti:

1. Kekerasan seksual terhadap anak dan inses.

2. Pemaksaan hubungan seksual terhadap pasangan, termasuk istri atau suami dan pacar.

3. Menyentuh atau melakukan kontak seksual tanpa persetujuan.

4. Menyebarkan foto, video, atau gambar organ seksual atau tubuh telanjang seseorang kepada orang lain tanpa persetujuan yang bersangkutan.

4.Melakukan masturbasi di depan publik.

5. Mengintip atau menyaksikan seseorang atau pasangan yang sedang melakukan aktivitas seksual tanpa sepengetahuan yang bersangkutan.

Melihat pembahasan tersebut, tentu kekerasan ini bisa terjadi pada siapa saja dan di mana saja. Maka, lingkungan pendidikan yang menjadi tempat transfer pengetahuan juga ikut memperhatikan ini. Kekuatan sosialisasi barangkali hanya sejenak, setidaknya ada usaha pencegahan yang dilakukan.

Apa yang bisa ditawarkan? Tentu hal ini bisa dilakukan dengan mengajarkan kepada anak beberapa yang perlu diketahuinya. Yaitu:

1. Ajarkan pendidikan seks usia dini.

Hal ini tentu sangat tabu apalagi pada masyarakat Aceh, namun apakah tabu ini terus dibiarkan hingga terus jatuh korban-korban?

2. Ajarkan untuk selalu waspada.

Barangkali selama ini hanya pada orang yang tidak dikenal namun kekerasan seksual ini sering terjadi pada yang dikenal, maka perlu waspada selalu.

3. Ajarkan melindungi diri dengan ilmu bela diri, perlengkapan lainnya.

4. Ajarkan untuk berani melawan dan berteriak saat ada yang menyentuh bagian yang tidak layak disentuh.

5. Beri pembekalan tentang kekerasan seksual.

Jika sudah ada yang terkena di lingkungan sekolah, semua orang harusnya mempunyai beberapa pengetahuan seperti:

1. Mendengarkan cerita korban dengan seksama dan membuatnya merasa bebas bercerita.

2. Bukan menghamiki korban dengan mengatakan hal-hal yang membuat dirinya semakin jatuh.

3. Beri informasi mengenai hak-hak korban.

4. Jangan tinggal diam, bisa dengan melaporkan ke lembaga layanan korban kekerasan seksual.

Jika diri sendiri (anak) terkena kekerasan seksual segera berikan edukasi berupa, yaitu:

1. Ajarkan untuk diceritakan pada orang yang dipercaya.

2. Segera kabarkan pada waktu yang tepat dan tempat yang tepat.

3. Ajarkan anak untuk menceritakan secara detail dan jika ada bukti segera tunjukan jangan dicuci dulu atau hal lainnya yang bisa menghilangkan bukti.

4. Ajarkan anak untuk tau apa yang dibutuhkan dan diceritakan kebutuhan tersebut.

Menjaga agar anak didik terbebas atau menjadi korban kekersan seksual di lingkungan sekolah adalah tugas dan tangungjawab semua pihak.

Meski sekalipun saat ini belum terkena keluarga kita bukan bearti harus tinggal diam bukan?

Sudah saatnya untuk ikut andil terlibat dalam hal kecil apapun untuk pencegahan. Jika kita peduli, berarti kita tidak saja menjaga anak kita, tetapi juga menjaga anak bangsa. (*/dari berbagai sumber)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *