Kongres Filipina Bertemu DPRA, Bahas Perdamaian

BANDA ACEH – Anggota Kongres Rufus Rodriguez Filipina menggunjungi Aceh dan bertemu dengan Anggota Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA). Pertemuan digelar pukul 09.00 WIB, Jumat (13/2/2015) di Ruang Badan Anggaran DPRA di Banda Aceh.

Pertemuan yang berlangsung selama dua jam tersebut, dihadiri oleh Wakil Ketua DPRA, Dalimi, SE.Ak, Ketua Badan Legislasi (Banleg), Iskandar Usman Al-farlaky, S.Hi dan anggota Dewan lainnya seperti, M. Saleh, S.Pdi; Djasmi Has, MM, Adam Mukhlis, SH, Bardan Sahidi, Tgk H. Abdullah Saleh, SH, Dr. (HC) Jamidin Hamdani, S.Sos. Sedangkan dari Kongres Filipina, dihadiri oleh Rufus Bautista Rodriegues dan tiga orang dari Kedubes Filipina.

Wakil Ketua DPRA membuka pembicaraan, dalam pertemuan ini berdiskusi mengenai proses perdamaian di Aceh, yaitu proses sebelum dan sesudah perdamaian untuk diterapkan dalam rangka perdamaian antara pemerintah Filipina dengan Bangsa Moro yang sampai saat ini masih adanya konflik.

Sementara itu, Ketua Banleg, Iskandar Usman Al-farlaky, S.Hi dalam pertemuan tersebut meminta kepada tamu dari Filipina untuk mengemukan apa saja yang perlu didiskusikan.

Rufus Rodriegues selaku Ketua Tim Perdamaian menyampaikan tujuannya ke Aceh merupakan ingin berdiskusi masalah konflik agama di Filipina, seperti diketahui bahwa di Filipina ada dua agama seperti Katolik dan Islam, sampai saat ini masih terjadi konflik dengan bangsa Moro.

“Jadi, kami ingin mencari solusi terbaik tentang cara menyelesaikan konflik antara pemerintah Filipina dengan Bangsa Moro yang sudah terjadi selama puluhan tahun dan tujuan kami kesini adalah untuk belajar dari pengalaman perdamaian di Aceh,” Rufus Rodriegues .

Selain itu, Rufus Rodriegues juga menyebutkan bahwa konflik yang terjadi di Mindanao sejak tahun 1972 dan ada sebanyak 4 juta penduduk muslim di empat provinsi. Dalam konflik tersebut, sebanyak seribu orang yang meninggal dunia dan jutaan peso yang sudah dihabiskan dari pemerintah Filipina untuk menyelesaikan konflik tersebut, tetapi sampai sekarang masih terjadi konflik.

“Jadi ada jutaan orang sudah mengungsi dan sudah 17 tahun pembicaraan perdamaian tapi sampai sekarang belum ada hasil,” ungkap Rufus Rodriegues.

Padahal, kata Rufus Rodriegues, bulan Maret tahun 2014 lalu, MoU (perjanjian) sudah dilakukan dan ditandangani di Kuala Lumpur, Malaysia antara pemerintah Filipina dan Bangsa Moro. Front Pembebasan Islam Moro (MILF) sudah membuat proposal yang sudah dikirimkan ke presiden dan sekarang sudah dikirim ke kongres, proposal itu saat ini sedang di proses.

“Kehadiran kami di Aceh salah salah satunya adalah ingin belajar bagaimana cara menyelesaikan perdamaian dengan bangsa Moro, saya meminta tolong bagaimana proses perdamaian di Aceh dengan Indonesia untuk kami pelajari,” pinta Rufus Rodriegues.

Mendengar sejumlah curhatan dan kisah tersebut, ketua Banleg Iskandar Usman Al-Farlaky, S.Hi juga mempertanyakan sejauh mana proses konflik disana, kapan terjadinya konflik dan bagaimana kondisi sekarang dan masalah penyelesaiannya dan apakah sekarang masih terjadi konflik di sana.

“Kalau masalah pertempuran tidak ada lagi, saat ini sedang dalam masa gencatan senjata antara Pemerintah Filipina dengan MILF, karena masih terjadi perundingan terkadang konflik kecil masih terjadi sampai saat ini,” jawab Rufus Rodriegues.

Dalam kesempatan tersebut, Iskandar Usman Alfarlaky, menyampaikan bahwa, konflik di Aceh sudah hampir 32 tahun yang digagas oleh Almukarram Tengku Muhammad Hasan Ditiro, konflik terus bergolak antara pemerintah dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), Pascatsunami konflik mulai mereda. Sejak penantanganan MoU Helsinki dari 2006 dan yang implementasinya di dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh (UUPA).

“Hampir 10 tahun perdamaian sudah terjadi di Aceh dan sudah banyak kemajuan yang dirasakan oleh masyarakat Aceh yang juga dituangkan dalam sejumlah Peraturan Pemerintah (PP) dan Peraturan Presiden (Perpres) . Dari 9 Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) dan Perpres, 3 RPP yang sudah disahkan dan 2 belum pembahasan dan 4 belum ada draft,” ungkap Iskandar.

Sementara itu, Adam Muklis, SH yang juga mantan kombatan GAM, saat konflik melanda Aceh ia saat itu bermukim di Malaysia, permasalahan konflik dengan Bangsa Moro sejak 1972 dan GAM sejak tahun 1976. Namun, konflik di Aceh bukan masalah ras atau agama, tetapi ini adalah masalah konflik masalah meminta keadilan dan kesejahteraan masyarakat, jadi berbeda dengan di Filipina yang terjadi konflik masalah ras dan agama, perdamaian di Aceh terjadi karena adanya tsunami.

“Mungkin, kalau tidak ada tsunami, mungkin belum ada perdamaian di Aceh dan masih terjadi perang sampai saat ini,” ungkap Adam Muklis, SH.

Selain itu, Adam Muklis menyampaikan bahwa masih banyak yang belum diberikan Indonesia sebagai implementasi dari MoU seperti Bendera Aceh, masalah Wali Nanggroe juga belum sepenuhnya diberikan kewenangan oleh Jakarta.

“Jakarta masih mau mengganti bendera Aceh karena alasannya bentuk bendera sama dengan Bendera GAM dan juga ada beberapa turunan UUPA lainnya yang belum diberikan,” kata Adam Mukhlis.

Selain itu, Adam Muklis, mengakui bahwa Aceh masih dibawah naungan Indonesia seperti masalah kurikulum masih dipegang pusat, tetapi di Aceh ada kekhususan masalah syariat Islam. Dalam akta perdamaian disebutkan bahwa peta Aceh mengacu pada wilayah Aceh yang dimuat pada perjanjian 1956.

Diakhir pertemuan tersebut, Adam Muklis menyarankan kepada pemerintah Filipina untuk membuka perwakilan di Aceh, nanti kami akan memfasilitasi perdamaian Bangsa Moro di Mindanao dan DPRA nanti bisa berkunjung ke sana, usulnya. (saniah ls/rilis)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *