BANDA ACEH | AcehNews. Net, – Pemerintah Kota Banda Aceh tetap akan terus melanjutkan proyek pembangunan Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) di Gampong Pande, Kecamatan Kutaraja, Banda Aceh. Komplek pemakaman bersejarah yang ditemukan pada 2017 tersebut, sebagai area pemakaman raja-raja dan ulama yang masuk ke dalam kompleks istana Darul Makmur Farusah Pindi atau Pande.
Pernyataan itu dipertegas Pemko Banda Aceh, sebagai mana isi di dalam surat No. 660/0253, tertanggal 16 Februari 2021 yang ditandatangani Walikota Banda Aceh, Aminullah Usman, dengan tembusan ke berbagai pihak. Surat tersebut ditujukan kepada Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan RI Cq. Direktur Cipta Karya di Jakarta, perihal Lanjutan Pembangunan IPAL Kota Banda Aceh dan bersifat Penting.
Ketua Mapesa Aceh, Mizuar Mahdi, Jum’at (26/2/2021) di Banda Aceh, kepada AcehNews. Net mengatakan, surat tersebut dapat berefek dan berdampak buruk pada kehidupan sosial budaya masyarakat Kota Banda Aceh secara khusus, masyarakat Aceh dan Indonesia secara umum.
“Walikota Banda Aceh, tidak mempertimbangkan fatwa Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh No. 05 Tahun 2020 tentang Pemeliharaan Situs Sejarah dan Cagar Budaya dalam Perspektif Syari’at Islam, yang dalam salah satu ketetapannya adalah: Hukum menghilangkan, merusak, mengotori dan melecehkan nilai-nilai cagar budaya Islami adalah haram,” jelasnya.
Selanjutnya Mizuar Mahdi, mengatakan, MPU Aceh dalam fatwanya itu juga merekomendasikan antara lain: Diharapkan kepada Pemerintah Aceh, Pemerintah Kabupaten/Kota untuk melestarikan dan tidak menggusur situs sejarah dan cagar budaya dalam rangka pembangunan di Aceh. Dan dalam hal ini, lembaga Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh adalah sebuah lembaga yang sangat dihormati oleh masyarakat Aceh.
Penemuan kompleks makam bersejarah di lokasi proyek IPAL sesungguhnya merupakan sebuah penemuan yang fenomenal sebab ditemukan relatif dalam di bawah permukaan tanah yang alami pada masa sekarang. Ini menurut Mizuar Mahdi, merupakan suatu fakta yang sangat penting bagi ilmu pengetahuan di samping kepentingan benda-benda cagar budaya (diduga cagar budaya sebelum penetapan) yang berupa nisan-nisan kuno.
“Penemuan tersebut merupakan bukti sekaligus petunjuk baru terhadap perubahan geomorfologis yang terjadi wilayah pesisir Kota Banda Aceh, terutama di kawasan muara Krueng Aceh, di mana beberapa ilmuan sebelumnya telah mengungkapkan tentang adanya proses penurunan permukaan tanah di wilayah itu yang menenggelamkan permukiman kuno,” papar Mizuar Mahdi.
Temuan kompleks pemakaman di lokasi IPAL, lanjutnya, diyakini berasal dari abad ke-18 itu, dapat memberi limit waktu mulai proses perubahan geomorfologis itu terjadi, dan dapat menjadi suatu acuan baru bagi berbagai penelitian yang ditujukan untuk menemukan sisa-sisa permukiman-permukiman kuno di sepanjang pesisir Kota Banda Aceh dan lainnya. Dari itu, kata dia, kepentingan dan nilai kompleks pemakaman bersejarah yang ditemukan di lokasi IPAL tidak saja dikarenakan makam-makam serta batu-batu nisannya, tapi juga pada konteksnya.
“Atas dasar ini, pemindahan kompleks pemakaman tersebut dari konteksnya ke posisi lain, dalam perspektif Undang-Undang No. 11, Tahun 2010, dapat dianggap sebagai sebuah tindakan yang merusak cagar budaya,” tegasnya.
Lokasi situs kompleks pemakaman bersejarah, berada dekat dengan situs-situs sejarah lainnya, bahkan hanya beberapa ratus meter dari tugu titik nol Kota Banda Aceh yang Mapesa Aceh, asumsikan telah ditetapkan sebagai sebuah situs sejarah versi Pemerintah Kota Banda Aceh.
Dari itu, Mapesa Aceh memiliki pandangan, lokasi situs tersebut merupakan salah satu situs yang termasuk dalam satuan geografis yang disebut kawasan cagar budaya (diduga kawasan cagar budaya sebelum ditetapkan).
Ketika dipertanyakan pernyataan Walikoya Aminullah, bahwa saat ini secara hukum, situs tersebut belum ditetapkan menjadi cagar budaya sehingga keberadaan IPAL di sekitar situs tersebut tidak menyalahi aturan yang berlaku serta tidak tergolong mengganggu keberadaan situs cagar budaya.
Ketua Mapesa Aceh menjawab,
“bahwa benar, secara hukum, situs tersebut belum ditetapkan sebagai cagar budaya, namum pernyataan seperti tersebut dalam waktu yang sama dapat memberikan sinyal bagi keterancaman benda, bangunan, struktur, lokasi atau satuan geografis yang diduga sebagai cagar budaya”.
Ia juga menilai Walikota Banda Aceh, mengabaikan amanah Undang-Undang No. 11, Tahun 2010, pasal 26 ayat 1, yang berbunyi: “Pemerintah berkewajiban melakukan pencarian benda, bangunan, struktur, dan/atau lokasi yang diduga sebagai Cagar Budaya.”
“Lambannya proses pendaftaran, pengkajian dan penetapan. Semua itu, kami duga, berpangkal pada kurangnya pengetahuan, pemahaman, dan perhatian terhadap potensi cagar budaya yang dimiliki oleh Kota Banda Aceh,” demikian pungkasnya. (Saniah LS)