Tari dan Tradisi Masyarakat Islam di Aceh

Oleh: Syera Fauzya Lestari
(Dosen Seni Tari, ISBI Aceh)

AcehNews.net – Tari merupakan ekspresi manusia. Ia menyampaikan pesan melalui sebuah medium: gerak. Namun, tidak semua gerak adalah tari. Gerak tari punya tujuan untuk berkomunikasi. Gerak tari membawa pesan atau mencerminkan sesuatu di luar dirinya. Dengan demikian, penonton bisa menafsir maksud, nuansa, atau perasaan yang disampaikan oleh sebuah tarian.

Sebagai pengkaji tari, saya belajar untuk melihat tari dari dalam ruang sosialnya. Tari Salsa dari Amerika Latin mengajak orang untuk bersuka ria. Sedangkan tari Tor-Tor pada upacara pemakaman orang Batak membangun suasana duka. Setiap tari jadi media komunikasi kelompok sosialnya. Di Aceh, tari jadi media ekspresi budaya yang Islami.

Secara garis besar kita bisa melihat contoh tari tradisional yang ada di Aceh. Secara umum tari-tari Aceh membawa pesan untuk menyampaikan ajaran Islam. Dalam hal ini, syiar agama memakai media kesenian. Seni tari bisa menarik minat penonton melalui sajian yang atraktif, lalu menyampaikan pesan agama di dalamnya. Selain itu, tari tidak hanya menjadi media yang ‘dibentuk’ oleh masyarakatnya. Lebih jauh, tari bisa membantu untuk membentuk cara kita memandang masyarakat kita sendiri. Ia menjadi cerminan dari masyarakat itu sendiri. Bisa dikatakan, kalau ingin melihat ciri masyarakat Aceh, lihatlah pada tarinya.

Tari Aceh mencerminkan kepemimpinan ulama (syekh), pola barisan yang menyerupai shaf di dalam shalat, dan syair-syair yang dibacakan berisi tentang kisah sejarah dalam agama Islam.
Dari poin ini kita bisa bertanya, bagaimana tari menjadi bagian dari tradisi masyarakat dalam menyampaikan ajaran Islam di Aceh? Bagaimana ia hadir untuk turut membentuk masyarakat Islam di Aceh? Disini saya mengajak pembaca untuk membahas tari tradisional yang masih tersisa dan masih hidup, lalu melihatnya sebagai bagian dari budaya masyarakat muslim di Aceh. Zikir sebagai akar satu bentuk, satu contoh dimana gerak tari menjadi bagian dari acara keagamaan ialah Dalael Qairat.

Dalam memperingati hari besar Islam seperti “Maulid Nabi Muhammad SAW”, Dalael Qairat sering dikatakan oleh masyarakat Aceh dengan sebutan zikir (meudikee). Zikir ini dibacakan oleh sekelompok orang yang duduk berbaris terkadang membentuk lingkaran atau duduk bershaf, berpakaian putih, yang melantukan bacaan, shalwat, dan puji-pujian yang berbahasa Arab.

Pujian dan shawalat dibaca dengan suara yang merdu. Pemimpin kelompok yang berzikir ini (syekh) melantunkan lagu yang saling sambut-menyambut dengan wakilnya (aneuk cahi), dan diikuti pula oleh anggota kelompok. Bacaan dalam Dalael Qairat ini dilantunkan sembari melakukan gerakan tubuh ke depan, ke samping kanan, dan kiri. Kepala juga bergerak mengikuti irama dari gerakan badan. Para penampil di sini biasanya adalah sekelompok pria-pria remaja atau pun dewasa.

Sampai hari ini, Dalael Qairat masih menjadi tradisi yang kuat berakar pada masyarakat di pantai Barat dan Utara Aceh. Pada peringatan hari besar Islam, utamanya Maulid Nabi, atau sesekali atas permintaan masyarakat gampong, Dalael Qairat ditampilkan.

Dalael Qairat Sebagai Media Dakwah

Pernahkan pembaca merenungkan syair-syair yang dilantunkan dalam pementasan tari tradisional Aceh? Dalam hal inilah kita bisa melihat tari menjadi media untuk menyampaikan ajaran agama. Ambil satu contoh, tari Rapa’i Geleng. Tari ini berasal dari Desa Seuneulop Kecamatan Manggeng, Kabupaten Aceh Barat Daya. Akar dari tarian ini ialah Dalael Qairat.

Jika Dalael Qairat melantunkan dengan merdu zikir-zikir berbahasa Arab, pada Rapa’i Geleng kita bisa melihat gerakan tubuh yang meniru orang berzikir, yang ditunjukkan dengan gerak geleng atau asiek. Dengan menambahkan alat musik Rapa’i, gerak tari ini sungguh indah, rampak dengan bunyi rentak Rapa’i. Syair-syair dinyanyikan, serempak pula dengan dengan pukulan Rapa’i dan gerak menggelengkan kepala ke kanan dan ke kiri.

Dalam tarian ini pesan-pesan agama disampaikan melalui syairnya. Nyanyian syair terbagi menjadi tiga bagian yang berurutan, yaitu Saleum (salam), Kisah (cerita/hikayat), dan Lanie (nasihat dan penutup). Pada bagian awal, penari menyampaikan salam kepada penonton. Di bagian kedua, kisah-kisah sejarah Islam dan hikayat dilantunkan. Terakhir, ditutup dengan nasihat atau hikmah yang bisa diambil dari kisah tersebut.

Tarian ini memang membuat penonton larut dalam suasana yang diciptakannya, dengan nuansa penuh semangat dari pada penari. Pukulan Rapa’i inilah yang menjadi penyemangat dalam tari. Syair-syair yang disampaikan bisa disesuaikan dengan kebutuhan, konteks kegiatan, dan tujuan acaranya. Misalnya konteks dan maksud festival tari antar gampong tentu berbeda dengan peringatan hari besar Islam. Namun, unsur syiar Islam tetap ada dalam setiap syair yang dinyanyikan.
Tari sebagai cerminan masyarakat Aceh yang Islami.

Tari Cerminan Islami

Pada bagian mana tari menjadi cerminan masyarakat Aceh yang Islami?

Pertama, pola segaris atau satu shaf yang membentuk garis horizontal. Pola segaris ini menjadi pola umum pada tari tradisional Aceh seperti tari Saman, Likok Pulo, Ratoeh Taloe, Rapa’i Geleng, Rateb Meuseukat, dan lain sebagiannya. Dengan membentuk duduk segaris berbanjar tarian nampak indah dan bisa tersampaikan dengan baik. Gerak tari dilakukan dengan serentak (bersamaan), mulai dengan tempo lambat, cepat, hingga sangat cepat, dan diam. Masyarakat Aceh yang Islami terlihat dalam bentuk tari yang membentuk pola duduk lurus berbanjar. Layaknya seperti yang terlihat pada saat orang yang sedang sholat berjamaah.

Kedua, Syekh dalam tari mempunyai arti sebagai pemimpin. Syekh berperan sebagai penari yang tugasnya memberi perintah dan aba-aba (komando). Dari komandonya, penari lain dapat memulai dan berhenti gerak, serta membentuk atau membuka ruang untuk menciptakan pola-pola yang baru. Pesan darinya tidak hanya berlaku untuk para penari saja, tetapi juga untuk pelantun syair (syahi dan aneuk syahi).

Jika di dalam tari kita melihat peranan syekh begitu penting. Pada masyarakat Aceh kita melihat posisi yang sama, dimana Syekh (Ulama) berperan penting dalam memberikan ilmu, syiar agama, memberi pesan yang menjadi pelajaran penting dalam kehidupan masyarakat Aceh. Sosok Syekh dalam bentuk tradisional masyarakat Aceh sangat penting dan utama. Nasehat, pesan, bahkan doanya selalu diminta oleh masyarakatnya.

Ketiga, Syair. Syair tradisional Aceh merekam kisah-kisah dalam sejarah Islam dan Aceh. Pembacaan syair bertujuan menceritakan kembali kisah-kisah Nabi dan hikayat-hikayat. Syair juga memberi nasehat yang baik bagi masyarakat. Syair dalam pertunjukan tari selalu diawali dengan salam, shalawat (pujoe), dan diakhiri dengan salam pula. Layaknya tradisi umat muslim, dimana salam selalu menjadi pembuka dan penutup pembicaraan. Dalam setiap ceramah, Teungku (ustad) selalu menceritakan kisah teladan Nabi dan para sahabat, menyampaikan pesan dan nasehat pada bagian akhir ceramahnya. Hal ini juga lah yang tergambar di dalam tari-tari tradisi di Aceh.

Dari uraian saya di atas, ternyata tari menjadi bagian yang penting bahkan turut menjadi media syiar dan membentuk masyarakat Islam di Aceh. Apakah tidak keliru jika mengatakan bahwa kesenian (tari) dapat merusak nilai dan moral masyarakat? Sudah saatnya kita memberi perhatian dan penghargaan terhadap tari sebagai warisan budaya dan tradisi dari para pendahulu. (*)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *