Sri Mulyani ingin Bangun Masyarakat Aceh yang Lebih Kuat

 

Memperingati 10 tahun tragedi tsunami Aceh, Uni Lubis mewawancarai Direktur Pengelola Bank Dunia, Sri Mulyani Indrawati.

Ide menerbitkan wawancara dengan sejumlah perempuan terkait peringatan 10 tahun tsunami di Aceh dan Nias muncul begitu saja saat saya makan siang dengan Maria Ressa, pendiri dan kepala eksekutif Rappler.com. Kami berbincang santai di sebuah restoran, dekat kantor situs media sosial terbesar di Filipina itu, awal Oktober tahun ini.

Tahun 1998an di saat panasnya peliputan terkait proses reformasi, kami kerap bertemu di lapangan. Saat itu Maria Ressa adalah kepala biro CNN di Indonesia.

Setelah itu, lama saya tak mengikuti kabarnya. Kami bertemu lagi di acara Global Media Forum di Bali, Agustus 2014. Kami sama-sama menjadi pembicara dan diinapkan di hotel yang sama. Suatu pagi, kami berpapasan di lift hotel. Komunikasi terjalin. Maria Ressa bercerita soal Rappler.com yang didirikannya dua tahun lalu. Situs ini bertumpu pada tiga pilar, teknologi, komunitas, dan urun-daya (crowdsourcing). Kami lantas saling mengamati kegiatan melalui aktifitas di media sosial.

Saya mengikuti bagaimana Rappler menggelar kegiatan terkait kesiapan menghadapi bencana alam. Social Good Summit, misalnya, yang bisa dibaca di sini. Juga kampanye #WhipIt, sebuah pola beriklan yang sensitif gender, menonjolkan sosok perempuan Filipina dari semua lapisan, saat mereka bekerjasama dengan sebuah merek shampoo.

Saat makan siang di dekat kantornya di kawasan bisnis Ortigaz, Manila, kami mengeksplorasi bagaimana melakukan hal itu di Indonesia. Rappler.com memiliki tim kecil yang mengelola berita dari Indonesia, yakni @RapplerID. Saya mengatakan kepada Maria, bahwa saya berencana mewawancarai sejumlah perempuan terkait 10 tahun tsunami. Juga menulis blog harian selama 100 Hari Jokowi-JK dan sejumlah aktivitas lain yang sudah saya rencanakan sebelum saya mundur dari posisi sebagai pemimpin redaksi dan karyawan ANTV awal Oktober lalu.

“Yuk, kolaborasi saja. Kita akan menerbitkan tulisan dan laporan kamu di Rappler Indonesia,” begitu kata Maria.

Begitulah, sebagaimana yang Anda ikuti, setiap hari tulisan saya diterbitkan oleh Rappler Indonesia, selain bisa diikuti di blog pribadi saya, www.unilubis.com, termasuk laporan dari KTT Perubahan Iklim COP 20 di Lima, Peru, baru-baru ini.

Sesuai dengan kesepakatan, Rappler Indonesia memberi keleluasaan kepada saya untuk meliput dan menulis apa saja. Independen. Ini memang impian saya sesudah lepas dari bekerja di korporasi besar: Doing what I want to do. Sambil mengerjakan kegiatan lain, termasuk terkait dengan kegiatan sosial.

Wawancara dengan Sri Mulyani Indrawati, direktur pengelola dan kepala operasional Bank Dunia adalah bagian dari seri wawancara dengan perempuan terkait peringatan 10 tahun tsunami di Aceh. Wawancara saya lakukan pada tanggal 7 November lalu, di kantor pusat Bank Dunia di Washington DC, Amerika Serikat. Kebetulan saya ada undangan mengikuti pertemuan tahunan Alumni Advisory Council Eisenhower Fellowships di Philadelphia.

Mengenang kembali                        

Saya mengandalkan intuisi ketika mencoba meminta waktu wawancara khusus dengan Sri Mulyani yang sejak dulu biasa dipanggil “Mbak Ani”. Lama sekali saya tidak berjumpa, bahkan kontak dengan ekonom yang kini menjadi perempuan paling berkuasa di lingkungan Bank Dunia. Padahal dulu kami sering bertemu untuk keperluan wawancara, atau bahkan acara ulang tahun di rumahnya.

Ada banyak peristiwa terkait tugasnya saat menjabat Menteri Perekonomian yang membuatnya sangat selektif berurusan dengan media. Saya tidak perlu membahas detilnya karena sudah menjadi konsumsi publik. Begitu juga profilnya sebagai salah satu perempuan berpengaruh di dunia menurut majalah Forbes.

Protokol di Bank Dunia sangat ketat melindungi bos perempuan paling berkuasa di lembaga multilateral itu. Saya beruntung, ketika menyodorkan tema 10 tahun tsunami, melalui staf sekretariatnya, Mbak Ani langsung menerima permohonan wawancara saya.

Wawancara ini mengembalikan kami berdua ke kenangan yang sama. Senin, 27 Desember 2004, sehari setelah bencana gempa bumi dan tsunami meluluhlantakkan sebagian Aceh dan Nias, kami berdua mendarat di Bandara Sultan Iskandar Muda, Banda Aceh.

Kami sama-sama menumpang pesawat jet pribadi milik keluarga Wakil Presiden Jusuf Kalla. Mbak Ani menjabat sebagai Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas. Saya bekerja di TV7, stasiun televisi milik Kompas yang kemudian berganti nama menjadi Trans7 setelah dibeli sebagian sahamnya oleh pengusaha Chairul Tanjung.

Ketika berangkat dari Jakarta, kami tak punya bayangan separah apa situasi di Banda Aceh. Maklum, sejak bencana gempa dan tsunami sehari sebelumnya, koneksi telekomunikasi mati. Tak ada informasi dari lokasi.

Mendarat di bandara, suasana agak lengang. Sambutan untuk rombongan Wapres JK kecil saja. Keluar dari bandara, saya melihat sejumlah tenda pengungsi di seberang bandara. Perasaan mulai tidak enak. Hanya ada satu mobil berdebu, kalau tidak salah mobil Kijang atau bis kecil yang disediakan untuk rombongan Pak JK.

Ada 4 menteri termasuk Mbak Ani dan Menteri Kesehatan Siti Fadhilah Supari, sejumlah staf khusus, karyawan Pasifik Satelit Nusantara yang membawa telepon genggam satelit, protokol wapres, dan tentu saja pasukan pengamanan. Wartawan, selain saya ada Najwa Shihab, saat itu reporter dan presenter Metro TV.

Kejadiannya begitu cepat. Mobil yang membawa Pak JK dan rombongan menteri melesat meninggalkan kami. Saya mencegat sebuah mobil pick-up, bak terbuka, yang lewat di depan saya, lantas menumpang menuju kota. Kami terhenti di kawasan jembatan Lambaro.

Ribuan mayat bergeletakan di sisi-sisi jalan. Menyedihkan. Pak JK dan rombongan ada di sana. Termasuk Mbak Ani. Berdiri di tengah jejeran mayat korban tsunami, saya melihat matanya berkaca-kaca. Siapa yang tidak? Semua terkejut. Luar biasa sedih atas tragedi itu.

Saya ingat kami berdua mendekati mayat seorang ibu yang mendekap anak kecilnya. Air mata Mbak Ani mengalir kian deras.

Saya ingat kami berdua mendekati mayat seorang ibu yang mendekap anak kecilnya. Air mata Mbak Ani mengalir kian deras. Begitu juga saya, yang tengah mengambil gambar dengan handycam. Setelah itu kami menuju rumah sakit, menengok korban. Lagi-lagi pemandangan yang menyedihkan. Pak JK pun terisak. Rombongan kemudian menuju Pendopo Gubernuran yang selamat dari terpaan gempa dan tsunami. Ratusan orang mengungsi di halaman. Pak JK lantas menggelar rapat darurat. Saya ikut mengamati.

Sebuah pengalaman hidup yang lekat di ingatan

Nuansa sedih itu datang lagi saat kami berdua bertemu di ruangan studio televisi kantor Bank Dunia untuk wawancara ini. Bu Ani, demikian saya memanggilnya kini, menggunakan setelan celana panjang dan blazer warna abu-abu, dengan syal. Sederhana.

Beberapa kali suaranya tersendat, mukanya memerah haru saat menjawab pertanyaan. Melihat langsung dampak dari tragedi kemanusiaan yang memakan korban jiwa 220 ribu orang, setengah juta kehilangan tempat tinggal, dan total kerugian senilai US$ 6,2 miliar. Sebuah pengalaman hidup yang lekat di ingatan.

Berikut wawancara saya dengan Bu Ani:

Sebagai orang biasa, juga Menteri/Kepala Bappenas, yang melihat langsung dampak bencana tsunami, sehari setelah kejadian, apa yang Anda pikirkan saat itu?

Emergency. Keadaan darurat. Bagaimana mengurangi potensi jatuhnya korban jiwa lebih banyak. Berapa banyak yang sempat terseret air bah, jatuh dan luka-luka, yang tidak makan sejak sehari sebelumnya, kena diare. Kita harus lakukan penyelamatan. Itu keadaan darurat. Kita upayakan meminimalkan jatuhnya korban pasca kejadian melalui operasi kemanusiaan.

Evakuasi. Saya melihat saat itu teman-teman PMI melakukannya. Juga pihak lain baik dari lembaga swadaya masyarakat maupun swasta. Koneksi telepon tidak bisa. Putus. Hanya bisa menggunakan beberapa telepon satelit yang digunakan bergantian. Kita gunakan untuk informasi, mobilisasi bantuan.

Untuk makanan, kita cari toko-toko yang selamat, tidak kena banjir. Tujuannya kumpulkan bahan logistik makanan, minuman. Juga pengadaan air bersih bagi pengungsi korban bencana tsunami.

Minggu pertama kita juga disibukkan dengan penguburan jenazah. Juga evakuasinya. Kita diskusi bagaimana kalau jenazah dikuburkan bersama-sama tanpa dimandikan. Itu kan hari kedua sudah harus dilakukan. Karena masyarakat Aceh yang mayoritas Islam sangat peduli soal ini. Ingin penguburan yang pantas. Butuh fatwa untuk itu.

Pada tahap selanjutnya berpikir bagaimana kembali membangun masyarakatnya. Sebagai Menteri Kepala Bappenas saya sangat terlibat di sini. Niatnya membangun kembali. Keinginan membantu korban bencana sangat tinggi. Begitu berlimpah. Presiden [Susilo Bambang] Yudhoyono ingin memastikan kita bisa menjaga kepercayaan, reputasi. Jangan sampai bantuan dikorupsi. Jangan sampai niat baik membantu kemanusiaan dari masyarakat internasional dicemari skandal. Kita membuat sistem yang transparan, bagaimana mengkoordinasikan.

Di Bappenas kita buat blueprint nya. Konsultasi dengan masyarakat di sana. Suasananya masih tegang. Banyak tekanan. Masyarakat masih trauma terhadap bencana. Baru kehilangan sanak-saudara.

Kita memikirkan bagaimana membangun society agar dapat mengambil pelajaran dari kejadian bencana. Move on with their lives. Bahkan kita berpikir membuat masyarakat lebih kuat. Stronger.

Desain pembangunan komunitas juga dipikirkan. Kan banyak yang ingin membantu dengan membangun sendiri-sendiri di desa-desa. Masing-masing punya standar sendiri yang tak jarang memicu tensi sosial.

Lalu, bagaimana menangani anak-anak yatim piatu, membuat sekolah sementara, dan kegiatan agar mereka tidak trauma. Niat baik banyak. Saya lihat banyak hikmahnya. Banyak terlibat pihak LSM maupun swasta.

Hikmah yang lain, pasca tsunami pihak GAM [Gerakan Aceh Merdeka] bersedia melakukan negosiasi damai. Saya rasa banyak yang dapat dipelajari dari episode itu.

Peristiwa tsunami di Aceh dan Nias membuat kita merumuskan peraturan: Standar Operational Procedure(SOP) penanganan bencana. Ada manfaatnya atau diadopsi oleh lembaga seperti Bank Dunia?

Banyak sekali. Tsunami Aceh merupakan bencana internasional. Yang terjadi di sana juga sebuah bentuk penanganan baik dari sisi masyarakat, swasta, NGO, pemerintah, negara-negara bilateral, militer, sipil. Semua bekerja sama baik. They are working together.

Contoh yang baik. Tentu saja di sini leaderships sangat penting. Pemerintah melakukan reaksi sangat cepat. Banyak yang sempat skeptis apakah pemerintah kita mampu? Bisa membangun sistem yang bersih?

Maka dibuat UU khusus, dibentuk badan khusus Badan Rekontruksi dan Rehabilitasi (BRR) Aceh dan Nias, yang dipimpin Pak Kuntoro [Mangkusubroto].

Dia ditunjuk, diberikan kewenangan mengelola. Dari sisi keuangan negara, baik dari sisi APBN maupun bantuan internasional, kita desain sistem keuangan yang transparan. Hire NGO dan international support. Sistem manajemen keuangan yang baik. Desain untuk membangun kembali dengan proses konsultasi masyarakat. Ini menjadi salah satu contoh di dunia. Aceh Tsunami disaster risk management adalah very important lessons learned.

Saya tahu persis karena waktu di [World Bank] saya harus mengunjungi Haiti, karena ada bencana gempa bumi yang dahsyat. Lalu ada gempa Yogyakarta dan Jawa Tengah yang juga butuh disaster risk management yang sangat cepat.

Indonesia mendapatkan banyak pengalaman dan sangat dihormati karena mampu menunjukkan kemampuan institusi, leaderships kemampuan mobilisasifunding, bagaimana menjaga kepercayaan dari pemilik dana dari semua pihak, bereaksi cepat. Dapat apresiasi yang baik.

Bagaimana kita bisa bereaksi meskipun dibutuhkan 3 tahun untuk pembangunan kembali. Accountabilitytransparancypredictabilitycoordination itu mewarnai proses yang kita lakukan.

Sesudah itu karena saya juga datang ke Pakistan waktu mereka alami bencana gempa. Saya ke sana dikirim oleh Presiden SBY untuk membantu. Memberikansupport dana. Di lapangan situasinya tidak selalu mudah. Saat terjadi bencana masyarakat porak-poranda, institusi rusak, ada ekses muncul. Untuk Aceh memang ada kesempatan spesial, mewujudkan perdamaian. Itu hadiah luar biasa bagi masyarakat Aceh.

Setelah itu sering kembali ke Aceh? Bagaimana perubahannya menurut Anda?

Ya, Kembali ke Aceh beberapa kali. Menengok BRR waktu mereka bangun kantor sementara. Saya lihat bagaimana perkembangannya.

Saya kembali lagi saat situasi stabil, hampir selesai rekonstruksi. Juga meresmikan kantor Depkeu yang rusak parah karena tsunami dan gempa.

Kondisi sangat berubah. Dibanding hari kedua tsunami. Semua sudah dibangun kembali. Ada perasaan ya, bagus untuk masyarakat. Kita coba membangun suatu masyarakat, bukan hanya membangun kembali kantor, jalan, buildingmasjid, jembatan. Bukan cuma itu, tapi membangun semangat masyarakat agar kembali seperti sebelum bencana. Kita melihat, kan, begitu besarnya simpati manusia di dunia begitu ada bencana, ingin membantu. Lots of achievements.[Bu Ani, nampak mengusap air mata].

Bagaimana peristiwa tsunami di Aceh dan Nias serta penanganannya membuat sistem kesiapan (preparedness) bencana yang lebih baik?

World Bank bekerja dekat dengan banyak negara donor. Kita tahu Jepang alami bencana Fukushima. Itu juga wake-up call. Jepang luar biasa secara sistematis bantu Indonesia dalam tsunami karena terlatih dalam tangani bencana alam. Dan itu sangat membantu. Presiden SBY dan beberapa menteri menengok mekanisme disaster preparedness dan emergency, serta rehabilitation and reconstruction di sana. Kita belajar.

Good learning kita integrasikan dengan kelembagaan yang kita bangun, karena Indonesia ada di Ring of Fire, potensial alami bencana alam.

Saya joined Bank Dunia Juni 2010. Haiti baru alami gempa bumi. Kebetulan Amerika Latin dalam supervisi saya, jadi saya pergi ke sana.

Situasi yang masih mengingatkan saya pada Aceh. Suasana berbeda tentu, tapi saya melihat totally destroyed cities. Kita gunakan teman-teman Bank Dunia yang punya pengalaman mengelola pasca bencana untuk membantu Haiti. Termasuk kita undang juga beberapa orang dari BRR agar mereka belajar disaster risk management. Jepang sangat membantu dalam proses ini.

Sekarang di dalam Bank Dunia ada divisi Disaster Risk Management sebagai suatu kegiatan yang kritikal untuk membantu client country yang alami bencana.

 

Bagaimana dengan pengaruhnya terhadap kebijakan anggaran — saat kemudian Anda menjadi Menteri Koordinator Ekonomi, juga ketika di Bank Dunia?

Dari sisi anggaran kalau negara cukup besar dan bencana terjadi di suatu lokasi yang tidak terlalu besar dan parah, tidak pengaruhi perekonomian dan mempengaruhi anggaran, bisa menggunakan anggaran belanja dan penerimaan negara tambahan. Seperti di Indonesia. Persetujuan DPR.

Untuk yang devastated the whole country lumpuh seperti Haiti, harus dibantu. APBN mau diutak-atik nggak ada uang lagi. Butuh bantuan eksternal. Carribean Islands. Kena typhoon. Tiap tahun selalu datang. Wiped out seluruh ekonomi. Bank Dunia membangun instrumen catastrophe bond, sehingga dalam kondisi seperti itu bisa membantu pemerintah langsung dengan anggaran untuk bisa mobilisasi funding dan termasuk introduce insurance untuk itu.

Kita bantu negara-negara financingprotocol, institutional Karibia yang rawan kena bencana sehingga baik dari sisi financingprotocol, institutional building, Bank Dunia gunakan experiences untuk akumulasi knowledgedevelopment instrument. Tidak hanya negara berkembang. Jepang juga yang sudah maju juga butuh social support untuk hadapi tragedi dan bencana yang skalanya begitu besar.

[Penjelasan soal catastrophe bond dapat diikuti di tautan ini]

Bagaimana dengan pelibatan perempuan dalam pengelolaan manajemen dan ketahanan bencana?

Sangat relevan. Untuk Aceh apalagi. Karena kita tahu banyak perempuan yang tidak boleh memiliki land titling. Kita perkenalkan program khusus untuk Aceh. Jadi, waktu kita mau membangun kembali, banyak janda-janda yang terhalang untuk bisa mengelola dan memiliki hak propertinya mereka. Kita kenalkan program khusus, juga untuk anak yatim piatu, program pendidikan, dan lainnya.

Prinsipnya, you design rebuilding based on gender perspective. Sangat penting. It makes a difference. Kalau kita membangun tanpa sensitif memperhatikan sisi kebutuhan perempuan, dari sisi beban ekonomi, kebutuhan sosial, pendidikan for the children, itu nggak bisa.

Kita harus bangun dengan langkah jelas memihak kepentingan perempuan dan anak-anak. Ini yang seringkali luput, termarjinalisasi, baik sengaja maupun tidak sengaja. Tidak gender friendly.

Yang paling penting bagaimana melindungi mereka yang paling rapuh, paling miskin, anak-anak, orang tua perlu dapat perhatian lebih.

Di Bank Dunia dalam mendesain pembangunan, dimensi gender harus luar biasa diperhatikan. Apakah membangun jalan, sistem transport, dan sebagainya. Itu penting.

Bagaimana dengan peran teknologi dalam manajemen bencana?

Itu luar bisa besar perannya, bangun accountability melalui teknologi mobile phone, termasuk misalnya dengan tracking, melacak distribusi makanan, obat-obatan, bahan bangunan, apakah di-deliver sesuai janji.

Becoming very cheap. Ada geo-mapping. Apakah lokasi pasar, sekolah, jalan raya, dan fasilitas umum terbangun di tempat yang diinginkan dan dalam bentuk yang diinginkan?

Lainnya, teknologi dari sisi konstruksi yang membangun rumah secara efisien dan cepat. Peran teknologi luar biasa besar. Waktu tsunami di Aceh, mereka yang bisa penetrasi ke tempat yang sulit diakses, menggunakan helikopter yang bisa mendarat secara vertikal.

Banyak sekali mission military untuk non-military operation humanitarian yang sangat membangun. Kolaborasi antara teknologi, societyphilantrophyhumanity, tapi juga professionalism dan institutional building.

Pengalaman waktu penanganan Topan Haiyan di Filipina, masyarakat berharap ada social protection dalam rebuilding dan recovery. Bagaimana pendapat Anda?

Bank Dunia adalah termasuk yang pertama yang membantu pemerintah Filipina dalam bencana Topan Haiyan. Tipikal bencana yang sama dengan negara-negara di kawasan kepulauan Karibia. Dari sisi social protection adalah sama seperti masyarakat di Aceh, kita membangun community-based, perkuat dalam membangun kembali rasa percaya juga membangun properti mereka yang rusak tersapu bencana.

Kesempatan juga dipakai untuk membangun kembali sistem jaminan sosial. Pendataan, berdasarkan nama, berdasarkan rumah tangga, terutama membangun sistem proteksi untuk orang miskin, untuk anak-anak yatim-piatu, untuk bisa dapat dukungan yang dibutuhkan, dan kemudian bisa bangkit untuk seterusnya.

Social protection tidak hanya saat bencana. Masyarakat perlu punya social safety net. Jaring pengaman sosial. Karena kadang-kadang diperlukan untuk melindungi dari goncangan perekonomian, politik.

Yang paling penting bagaimana melindungi mereka yang paling rapuh, paling miskin, anak-anak, orang tua perlu dapat perhatian lebih. Program Bank Dunia kita desain untuk bisa bencana alam, kelaparan, dan semacam itu. (uni lubis/rappler.com)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *