Spirit Sri Klaten Bagi Difabel Tanah Air Dimasa Pandemi Covid-19

AcehNews. Net – “Sekitar 24 juta penyandang difabel di Indonesia, hanya 10 persen saja yang berani beraktifitas di luar rumah. Saya ingin memberikan semangat kepada mereka. Agar mereka berani keluar rumah,” kata Sri Lestari, salah seorang difabel di Indonesia yang terus berkarya dan menyuarakan hak-hak penyandang disabilitas, sebagaimana diamanahkan Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 2016.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas disahkan oleh Presiden Joko Widodo pada 15 April 2016. Undang-Undang ini diundangkan dan ditempatkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 69 dan Penjelasan atas Undang-Undang ini juga ditempatkan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5871 oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, pada tanggal dan tahun yang sama di Jakarta.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas statusnya kini tidak memberlakukan dan mencabut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 9, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3670).

Negara Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 secara tegas menyatakan penghormatan dan menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia.

Ini juga diperkuat oleh Hak Asasi Manusia sebagai hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia bersifat universal, perlu dilindungi, dihormati, dan dipertahankan, sehingga pelindungan dan hak asasi manusia terhadap kelompok rentan, khususnya penyandang disabilitas di tanah air terlaksana dengan baik sesuai amanah Undang-Undang.

Penghormatan, Pelindungan, dan Pemenuhan hak penyandang disabilitas merupakan kewajiban negara. Hal ini juga ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, sehingga masyarakat mempunyai tanggung jawab untuk menghormati hak penyandang disabilitas di daerahnya masing-masing.

Masyarakat dengan berkebutuhan khusus dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 disebutkan bahwa Penyandang Disabilitas adalah setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak.

Namun kenyataannya masih saja penyandang disabilitas di tanah air belum ‘merdeka’ sepenuhnya menjalankan kehidupannya. Artinya masih mengalami banyak diskriminasi di tengah masyarakat yang berakibat belum terpenuhinya pelaksanaan hak penyandang disabilitas.*

Setahun lebih sudah, Maret 2020 tepatnya, pandemi Covid-19 telah melanda 34 provinsi di tanah air. Hal ini tentunya sangat berdampak pada sektor perekonomian rakyat dan ruang gerak yang terbatas. Pun hal ini dirasakan para difabel (different ability) di Indonesia. Mau tidak mau, difabel harus mengikuti tatanan hidup baru, New Normal, seperti yang lainnya. Memakai masker, mencuci tangan, menjaga jarak, dan menghindari kerumunan.

Kondisi wabah virus Corona, tetap memberi semangat kepada para difabel di tanah air, untuk terus bangkit dan berkarya di masa pandemi. Semangat ini tentu hingga hari ini, 4 Juni 2021, tidak tersulutkan. **

Sri Lestari dengan semangat ‘Merah Putih’. | Ist


Adalah Sri Lestari, perempuan yang memilik semangat ‘baja’ ini, merupakan anak pertama dari empat bersaudara pasangan Muji Raharjo Mujiono dan Suminem. Sri Klaten (panggilan akrabnya) tinggal di Dusun Losari, Rt 01 Rw 04, Desa Solodiran, Kecamatan Manisrenggo, Kabupaten Klaten, Provinsi Jawa Tengah.

Setelah 10 tahun terbaring di rumah, Sri bercerita, ia mengalami kelumpuhan dari pinggang ke bawah. Akibat kecelakaan yang menimpa dirinya pada usia 23 tahun. Sri Klaten kehilangan kedua kakinya. Ia mencoba bangkit dan mandiri dengan keterbatasan yang dia miliki.

“Saya hingga kini masih dibantu. Naik ke kursi roda dan kemudian kursi roda ditolak bisa naik di sepeda motor rakitan khusus, roda tiga, untuk bisa beraktifitas di luar rumah,” ucap Sri.

Ia pun memulai aktifitas di luar rumah, seperti biasa, setelah 10 tahun mencoba mengembalikan rasa percaya dirinya. Kemudian ia pun menjadi pekerja sosial di United Celebral Palsy (UCP) Roda Untuk Kemanusiaan.

Di sini perempuan kelahiran, Klaten, 10 Desember 1973 silam ini, terpanggil untuk menyuarakan hak-hak difabel di tanah air untuk bisa hidup dengan nyaman dan aman seperti masyarakat Indonesia lainnya yang tidak memiliki keterbatasan seperti mereka (penyandang disabilitas).

“Sekitar 24 juta penyandang difabel di Indonesia, hanya 10 persen saja yang berani beraktifitas di luar rumah. Saya ingin memberikan semangat kepada mereka. Agar mereka berani keluar rumah,” kata Sri Lestari, difabel paraplegia asal Klaten, tergerak menyuarakan hak-hak kesetaraan penyandang disabilitas di Indonesia.

Sri pernah hadir di Kota Banda Aceh dan Sabang, pada enam tahun silam. Ia menyuarakan hak difabel dengan berkeliling Indonesia, menggunakan sepeda motor rakitan khusus yang sekarang banyak dipakai para difabel lainnya.

Pun hingga kini, Sri terus giat ‘menggerakan kursi rodanya’ dalam menyuarakan kesetaraan dan kesamaan hak penyandang disabilitas dengan masyarakat yang memiliki fisik/mental normal di negeri merah putih ini.

Pagi-pagi sekali, Sri Lestari, telah terjaga dari tidurnya. Perempuan berusia 47 tahun yang pernah menyuarakan kepetingan penyadang disabilitas dari Sabang sampai Merauke ini bangun dari tidur. Dengan segala keterbatasan fisiknya, ia mandi, sholat subuh, dan melakukan persiapan berangkat kerja. Seperti orang normal lainnya.

Kepada AcehNews. Net, via WhatsApp dan phone, beberapa waktu lalu, 1 Juni 2021, ia mengaku berangkat kerja antara pukul 7.30 WIB. Karena menurut Sri, sudah hampir dua bulan ini, jarak kantor lebih dekat dari kediamannya.

“Seperti biasa, pulang kerja sampe rumah sekitar pukul 16.30 WIB, saya mandi, nyuci baju, maghrib, bermain dengan keponakan, dan makan malam. Ba’da Isya, saya membales pesan-pesan yang masuk via WA maupun SMS dan kemudian persiapan tidur,” cerita Sri, tentang aktifitas sehari-hari yang dilakoninya.

Perempuan yang terus memperjuangkan hak-hak disabilitas di Indonesia ini mengaku, sebagai istri dan perempuan yang bekerja di luar rumah, sangat terbantu oleh adik iparnya yang membantu pekerjaan rumah tangga lainnya.

“Di rumah ada adik ipar, jadi urusan masak-masak sudah dikerjakan adik, jadi saya sangat terbantu,” aku Sri.

Meski demikian, ia wajib menyiapkan baju yang akan dipakai ke kantor UCP Roda Untuk Kemanusiaan, tempat dimana ia bekerja dan menghabiskan separuh waktunya di sana.

“Habis shalat subuh biasa saya tidak tidur lagi, berdzikir mengucap syukur, minimal 15 hal yang telah terjadi dalam sehari ini dan lanjut berdoa,” cerita Sri lagi.

Sri masih bekerja di UCP Roda Untuk Kemanusiaan (www.ucpruk.org) dan saat ini sedang menjalankan program Pengembangan Pusat Servis Kursi Roda di 10 tempat dukungan program dari Ford Foundation.

Anggota pusat servis kursi roda ini, kata Sri, mayoritas Penyandang Disabilitas. Sedanhkan untuk kegiatan yang sangat pribadi, Sri masih rutin mengunjungi difabel yang kondisinya mirip dia dan masih hanya di rumah saja.

“Karena masih banyak diabel (Penyandang Disabilitas) yang menganggab dirinya sakit, ingin bisa sembuh kembali, dan beraktifitas normal di luar rumah dengan sgala keterbatasan fisik dan mental yang dimiliki,” kata Sri lagi.

Salah satu yang diperjuangkan Sri hingga kini terimplementasinya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, bisa terimplementasi sampai ke daerah. Semua penyandang Disabilitas, kata Sri lagi, bisa terlibat aktif dalam bermasyarakat dan lebih produktif.

Menski belum semua perjuangannya terpenuhi, Sri tak pernah lelah terus memperjuangkan nasib kawan-kawannya sesama difabel. “Sangat banyak Mbak yang belum dan untuk masalah advokasi tidak bisa dilakukan sendiri, makanya perlu dukungan semua pihak yang peduli difabel,” ucapnya.

Perempuan penyuka warna-warna gelap ini mengatakan, biasanya berawal dari pesan di WA atau inbox di IG atau FB, akun pribadinya, teman-teman difabel yang masih di rumah berkenalan dan ingin bertemu dengan nya. “Mereka ingin bisa mandiri seperti saya dan saya memberi spirit,” ucap Sri bersemangat.

Ketika Sri datang dan bertemu, ia biasanya berdiskusi bagaimana tetap bisa sehat, bisa melakukan ADL (Activity Daily Living), dan melakukan kegiatan dengan kursi roda secara mandiri. Apalagi di masa pandemi Covid-19 ini.

“Biasanya jika yang kami kunjungi sudah bisa kuat duduk di kursi roda, kami ajak mereka mencoba naik sepeda motor saya. Ketika saya menjenguk teman difabel, biasanya ada adik saya atau tim relawan, jadi jika ada yang mau mencoba naik sepeda motor, ada yang bisa mendampingi mereka,” kata perempuan friendly ini lagi.

Atau disaat akses jalan ke rumah difabel sulit dilalui kursi roda, lanjutnya, ada yang bisa membantu Sri mendorong kursi rodanya supaya bisa sampai ke rumah teman baru tersebut.

“Sekarang lebih meluas lagi, banyak teman tertarik dengan kegiatan saya, ada yang mau gabung, ada yang ikut berdonasi ketika kami akan memasang closed duduk untuk difabel yang kami kunjungi,” kata Sri.

Masa Pandemi Terus Eksis

Sri Lestari saat bertemu Presiden Jokowi. | jogloabang.com


Difabel yang kondisinya mirip Sri Lestari masih banyak di tanah air. Perempuan yang pernah melakukan aksi menyelam dan mengibarkan sang saka merah putih di bawah umbul Ponggok, Klaten, mengatakan, masih banyak difabel pada masa pandemi, belum bisa melakukan aktifitas di luar rumah karena keterbatasan fisik dan dukungan keluarga serta lingkungan.

“Kalau kondisi sekarang ini, masa pandemi, di tempat kerja saya pasti sangat terpengaruh, apalagi donatur berkurang. Namun itu tidak menurunkan semangat kami, terus berkarya dan beratifitas di luar rumah dengan tetap mengikuti prokes,” imbuh Sri.

Untuk Sri pribadi, pekerjaan banyak dilakukan di rumah masa pandemi, dan kegiatan menjenguk teman difabel banyak berkurang, jika pun dilakukan, hanya yang di sekitaran kota tempat tinggal saja.

“Untuk kawan-kawan difabel banyak yang terdampak, misalnya yang awalnya katering, langsung tidak punya pelanggan lagi, yang jualan online, pelanggannya langsung berkurang drastis,” ungkap perempuan yang hobi berolahraga.

Menyikapinya hal itu, Sri mengaku, ia dan kawan-kawan difabel, harus lebih giat, mencari inovasi supaya tetap bisa bekerja dan bertahan di masa pandemi.

Sri kini tidak sendiri. Kini jiwa spirit ‘sri-sri’ lainnya telah bangkit bersama memberi dukungan dan berkarya di masa pandemi Covid-19.

Paraplegi atau separuh bagian tubuh ke bawah lumpuh yang tidak bisa menggunakan closed jongkok, seperti dirinya, maka Sri dan kawannya, terpanggil terus berinisiasi menggantikan closed nya yang jongkok menjadi closed duduk, meski jumlah donatur kian berkurang.

“Kami tidak saja memberi bantuan kursi roda, servis sepeda motor rakitan, atau memasangkan closed duduk, supaya difabel tersebut bisa lebih mandiri dalam merawat dirinya sendiri dan lebih percaya diri,” demikian pungkas Sri.

Ada sekitar 24 penyandang difabel di Indonesia, hanya 10 persen saja yang berani beraktifitas di luar rumah. Semoga semangat dan spirit Sri Klaten terus tumbuh dan ‘menular’dalam diri difabel di Indonesia. Saling menguatkan, saling memberi spirit, untuk lebih mandiri dan berkarya lebih baik lagi di masa pandemi virus Corona. (Saniah LS)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *