Pertegas UUPA, Ombudsman Aceh Sarankan Kewenangan Pengelolaan Pertambangan Dikembalikan ke Daerah

BANDA ACEH | AcehNews. Net – Undang-Undang No.3 Tahun 2020 pada Pasal 173-nya mengeksplisitkan bahwa bagi Provinsi Aceh terkait perihal pertambangan mengacu pada Undang-Undang Pemerintahan Aceh. Sudah saatnya urusan pertambangan sesuai kewenangannya dikembalikan ke Pemerintah Kabupaten/Kota.

Hal ini ditegaskan, Kepala Ombudsman RI Perwakilan Aceh, Taqwaddin, yang disampaikan dalam Diskusi Multi Pihak tema Kolaborasi Mendorong Tata Kelola Pertambangan Minerba pasca Pengesahan UU Nomor 3 Tahun 2020 di Aceh, pada Rabu (28/6/2021) di Banda Aceh.

Selain alasan juridis tersebut, Taqwaddin juga menyampaikan bahwa dalam beberapa tahun ini, pasca berlakunya UU No 23 Tahun 2014, semua kewenangan pertambangan yang dulunya menurut UUPA ada pada pemerintah kabupaten/kota, dihilangkan dan ditarik menjadi kewenangan Pemerintah Provinsi.

“Semua izin usaha pertambangan mesti diterbitkan oleh gubernur atau menteri,” kata Taqwaddin.

Sehubungan dengan berlakukanya Undang-Undang No. 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Undang-Undang No.4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Batu Bara dan Mineral, Taqwaddin menyarankan kepada Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota untuk duduk bersama melakukan kordinasi.

Menurut hasil kajian Ombudsman RI Aceh pada tahun 2018, jelasnya, dampak faktual dari ketentuan ini (UU 23/2014) telah menyebabkan prosedur pengurusan izin pertambangan menjadi makin panjang dan mahal. Akibatnya, makin sedikit usaha pertambangan mineral bebatuan yang legal dan procedural di kabupaten/kota.

“Dari aspek pengawasan lingkungan. Fakta lapangan menunjukkan bahwa akhir-akhir ini kerusakan lingkungan akibat usaha tambang bebatuan di daerah makin parah. Sedangkan pengawasan makin lemah,” katanya lagi.

Menurut Taqwaddin, aparat kabupaten tidak lagi melakukan pengawasan dengan alasan mereka tidak memiliki kewenangan.
Akibatnya, para pemain tambang pun makin ‘menggila’.

“Lingkungan menjadi korban. Aktivis dan akademisi lingkungan hanya bisa berdiskusi dan berkoar-koar di pusat ibukota provinsi. Sementara kerusakan lingkungan terus terjadi, mengorbankan warga masyarakat,” ujar Taqwaddin.

Selanjutbya Taqwaddin mengatakan, situasi ini menjadi makin buruk, selama tidak ada lagi Dinas Pertambangan di Pemerintah Kabupaten/Kota. Sedangkan aparatur pengawas tambang hanya ada dalam jumlah terbatas pada Dinas ESDM di Pemerintah Provinsi Aceh.

Dari aspek kemanfaatan bagi masyarakat, katanya lagi, fakta selama ini bahwa daerah kabupaten/kota dan masyarakatnya nyaris tidak mendapat apa-apa dari usaha tambang yang terus marak tanpa izin.

“Tidak ada dasar hukum melakukan pungutan apapun yang memberi manfaat bagi kabupaten. Pemkab hanya siap-siap menerima dampak negative berupa potensi bencana, tanpa bisa menarik retribusi apapun,” tandasnya.

Mengacu pada dasar normaif dan fakta di atas, Taqwaddin, menyarankan kembali, agar urusan tambang harus dikembalikan kewenangannya kepada pemerintah kabupaten/kota.

“Segeralah pemkab/pemko bertindak secara proaktif dan progessif,” demikian pungkasnya. (San)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *