Pemburuan Batu Alam Mengundang Bencana Baru di Aceh  

BANDA ACEH – Maraknya pemburuan berbagai jenis batu cincin di Aceh akhir-akhir ini, dikhawatirkan akan mengundang bencana besar. Dalam hal ini, Pemerintah harus sangat bijaksana melihatnya dengan mempertegas penerapan pola cara pengambilan batu yang benar.

Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Aceh, kepada wartawan, di Banda Aceh, beberapa hari lalu mengatakan, pemburuan berbagai jenis batu alam di sejumlah wisalayah di Aceh akan berdampak pada bencana alam di Aceh. Karena menurut dia, kondisi alam Aceh saat ini sudah sangat mengkhawatirkan dan jika tidak dihentikan segera akan menjadi ancaman yang cukup serius bagi Aceh.

Jelas M. Nur, wilayah Aceh secara geografis, masuk kawasan  rawan bencana, karena diapit oleh lautan yang luas serta pegunungan-pegunungan. Menurut dia lagi, dengan maraknya pemburuan batu, justru akan melemahkan daya dukung dan tampung terhadap lingkungan. Karena alam ini penyangganya batu dan kayu sebenarnya.

“Kami memprediksikan banjir dan longsor di Aceh itu akan melebar lagi, serta memperbesar wilayah banjir bandang,” ujarnya.

Dia merincikan beberapa wilayah paling besar pemburuan berbagai jenis batu saat ini di Aceh, diantaranya Nagan Raya, kemudian bergeser ke Aceh Tengah, Pidie, serta Aceh Besar. Karena wilayah-wilayah ini, merupakan tempat penemuan jenis-jenis batu terbaru.

Dalam hal ini, pemerintah baik provinsi maupun daerah, bisa mempertegas kepada masyarakat yang berburu batu, supaya tidak melakukan dengan sembarangan. Sebab kerugian yang dicapai saat terjadinya bencana, tidak sebanding dengan pendapatan daerah yang dimiliki.

Menurut analisis yang dilakukan Walhi Aceh, kekayaan yang tersimpan dari hasil perburuan batu, itu hanya berlangsung sampai empat tahun kedepan. Setelah itu habismyang menyisakan wilayah-wilayah longsor, akibat pengambilan bongkahan batu besar.

Walaupun itu dikatakan pertumbuhan perekonomian baru bagi masyarakat di Aceh. Tapi, pemerintah harus bisa mengatur, jika itu merupakan pendatapan baru masyarakat, dengan cara mengatur pola pengambilannya, yaitu membatasi serta wilayah yang bisa diambil.

Selain itu, dia mencontohkan pola yang bisa diatur berupa menggaji masyarakat dan menyediakan sebuah lembaga khusus, dengan menyiapkan tenaga ahli dibidangnya, supaya tidak sembarangan penggalian batu yang dilakukan.

“Sikap kami sendiri, dalam hal ini, mengajak publik khususnya masyarakat Aceh untuk tidak memperlebar atau menciptakan wilayah longsor baru. Karena kerugiannya bisa dirasakan oleh masyarakat sekitar. Jadi secara konstitusi kita khawatir pola pengambilan batu ini yang tidak diatur,”tutupnya. (agus)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *