Nasib Wajah Bangunan Bersejarah di Kota Tua Aceh, Siapa Peduli?  

Sejarah merupakan sebuah fenomena peradaban manusia yang unik, abadi, dan tidak terjadi dua kali dalam keadaan yang sama persis, dengan adanya sejarah kita bisa menguak tabir masa lalu, namun sejarah juga bisa melahirkan kontroversi dan perdebatan panjang. Sebenarnya apa yang terjadi hari ini adalah cita-cita orang di masa lalu, mungkin sangat bodoh orang yang mengatakan, “sejarah tidak perlu di pelajari”. Orang tidak akan belajar sejarah jika tidak ada gunanya kata seorang ilmuan.

Pada dasarnya, sejarah merupakan suatu kejadian atau peristiwa yang benar terjadi, bersifat mutlak. Namun, kemudian ia akan menjadi relatif bila dilihat dari berbagai sisi dan sudut pandang. Singkatnya, kejadian itu sendiri bersifat absolut, tapi setelah ditangkap dan sampai pada manusia kejadian itu kemudian menjadi relatif. Dengan demikian, kebenaran sejarah merupakan kebenaran relatif. Hal inilah yang kemudian melahirkan beragam perdebatan dan kontroversi.

Sejarah konvensional yang menjadi pegangan umum harus rela untuk direkonstruksi begitu ditemukan bukti baru. Maka tidak heran hingga detik ini telah muncul banyak versi sejarah. Sejarah bukanlah fenomena yang hanya mengakui hitam-putih, panjang-pendek, banyak warna dan ukuran yang menghiasinya. Namun, selama tidak mengandung bias dan tidak untuk kepentingan kekuasaan, versi-versi sejarah tetap memberikan nilai yang berarti.

Lalu bagaimana dengan bangunan-bangunan sejarah yang masih tersisa? Apakah menimbulkan kontroversi yang bearti? Harus di pertahankan atau hanya sekedar menjadi sejarah ? Hampir semua bangunan-bangunan bersejarah yang telah tua di Aceh menjadi tempat kumuh, sarang kelelawar, sarang laba-laba, dan sama sekali tidak menarik.

Kota tua Banda Aceh yang seharusnya menjadi kebanggaan rakyat Aceh ternyata hanya dijadikan pelengkap saja, tak ada pengelolaan serius untuk memperlihatkan betapa eskotisnya kota ini ratusan tahun yang lalu.

Misalnya gedung peninggalan zaman Belanda, salah satunya Museum Juang 45 yang terletak di Jalan Tengku Umar tidak ubahnya rumah berhantu yang bertahun-tahun lalu tidak di tempati, sarang laba-laba entah dimana-mana dan saat hujan di jamin air mengenang di dalamnya, bundelan-bundelan kertas yang tidak terurus membuat orang malas mengunjunginya.

Di samping Museum Juang 45 sebelah kiri ada Museum Aceh, yang sangat jarang buka pada hari libur, jadi tidak ada bantahan bila orang-orang lebih suka pergi ke Mata Ie, Ulee Lheue dari pada tempat bersejarah sehingga banyak dari para generasi muda sekarang bahkan tidak tahu dari mana ia berasal.

Kalau ada yang ingin bertanya seperti apa wajah kota tua Banda Aceh? Yang dalam literatur dahulu di ceritakan sebagai negeri para sultan, makan-makam kuno yang bernisan persia tergeletak dimana-mana tanpa ada perawatan bahkan menjadi tempat pembuangan sampah padahal di nisan tersebut terukir kalimat syahadat.

Jawabannya adalah kota Tua Banda Aceh sekarang hanya di tandai dengan Masjid raya Baiturrahman yang terakhir di renovasi tahun 1993 kemudian di kelilingi oleh pertokoan berbagai jenis alat rumah tangga dan sumpek dengan pedagang kagetan bahkan di depan gerbang masjid plus pengemis yang nongkrong ria di sana, sungguh memprihatinkan.

Tidak ada tanda-tanda eskotis Banda Aceh sebagai kota yang penuh cerita perjuangan, tidak ada bekas keberanian orang Aceh yang bisa di ceritakan melalui gedung-gedung tua peninggalan dahulu kala bahkan peninggalan zaman Belanda pun tidak banyak apalagi sebelumnya, pemerintahan sepertinya tidak terlalu peka pada aset sejarah yang bernilai jual wisata. Bahkan ketika ada Visit Aceh yang lebih di tonjolkan hanya beberapa tempat wisata sedangkan bangunan tua yang bersejarah paling-paling hanya hitungan jari.

Bekas stasiun kereta Api yang terletak di depan Masjid Raya Baiturrahman sedikit yang tau, orang-orang berfikir bahwa yang ada di depan masjid raya itu hanya sebuah selingan agar orang-orang memutarnya semacam bundaran. Jadi, jangan heran kenapa ada yang berkata bahwa orang Aceh sangat miskin sampai kereta api saja tidak ada padahal lokomotif ini sangat familiar di kalangan masyarakat menengah ke bawah di daerah lain karena lebih murah.

Kereta api yang menjadi saksi bahwa di Aceh pernah ada transfortasi “ular terbaring” ini terogok sepi di depan Barata tanpa lirikan dan sudah karatan di  makan usia. Orang-orang hanya berbelanja ke Barata tanpa melihat-lihat bekas keberanian rakyat Aceh yang membunuh orang Belanda dahulu yang menggunakan kereta saat berpergian dari Batavia ke Aceh.

Dalam sebuah literetur di tuliskan bahwa di Jalan Dipenogoro dulunya ada sebuah bangunan bertuliskan “Sabang Coy” yaitu sebuah bangunan yang di gunakan oleh para pemuda pejuang Aceh sebagai markas staf resimen divisi rencong dan markas besar angkatan perang devisi rencong daerah Aceh mungkin saat ini sudah tidak terlihat lagi yang tinggal hanya literature saja.

Taman Putro Phang yang di bangun pada masa kemegahan Sultan Iskandar Muda abat 16 sekarang di penuhi pohon-pohon yang besar dan tidak terawat, saat berada di sana karena terlalu rindang seolah-olah berada di perkuburan yang menyeramkan, belum lagi rasa was-was takut nanti ada ular atau binatang liar lain yang akan mengigit dan jika sedang musim hujan, kawasan ini tidak bisa di datangi karena kebanjiran akibat buang sampah sembarangan masyarakat sekitar.

Di ujung Jalan Dipenogoro-tepat di samping percetakan negara hari ini, dulu ada sebuah gedung percetakan Belanda bernama Atjeh Drukerji yang setelah merdeka diganti dengan gedung percetakan RI yang kini entah mirip apa. Bangunan tua yang telah ada saja tidak di urus, apalagi memperdebatkan bangunan tua di Banda Aceh yang telah raib di telan zaman dan seolah-olah hanya ada dalam dongeng-dongeng yang di wariskan secara turun-temurun.

Belum lagi nisan-nisan sebagai bukti bahwa dulu pernah ada kerajaan besar yang membangun kerja sama dengan banyak negeri, nisan  berukir dari Persia, bertulisan huruf arab dan nisan yang bertulisan kalimat syahadat yang membuktikan kerajaaan Pasai pernah berdiri begitu megah hingga sampai nisannya di Ibu Kota Provinsi Aceh bertaburan tiada harga bahkan ada yang di jadikan batu asah seperti pengakuan seorang warga di daerah Lampineng, Ie Masen Kaye Adang Jalan Jeumpa, Kecamatan Syiah Kuala yang di temui di rumahnya dan terdapat di samping rumahnya komplek pemakaman kuburan kuno. Miris bukan?

Jika dulu dalam literature ada di sebutkan rumah Snouck Hurgronje di dekat penjara Keudah, hari ini rumah itu sudah tak terlihat lagi karena telah di bongkar. Kehebatan Aceh yang menjadi kerajaan terbesar  nomor lima di dunia pada masa lampau seolah sekarang hanya dongeng sebab tidak dapat di tunjukkan bekasnya.

Jika sekilas kita melihat Negara Rusia, yang meski sekarang sudah tidak terlalu popular atau beberapa negara komunis lainnya yang terkenal dengan kota tuanya yang penuh sejarah dan Negara Iran, atau negara lain yang begitu menjaga peninggalan sejarahnya sehingga anak cucunya hari ini bisa unjuk gigi dengan peninggalan sejarahnya maka anak cucu orang Aceh hanya bisa gigit jari, siap-siap di cemeoh dengan dongengan tanpa bukti, begitulah kira-kira peninggalan sejarah di Kuta Raja (sebutan untuk Banda Aceh).

Pemerintahan kota sepertinya lebih memperhatikan pembangunan sehingga memberikan kesempatan kota tua Aceh yang menjadi Negeri Seribu Sultan menjadi negeri lain yang asing di mata masyarakat yang mengenal kota megah ini sebagai kota tua yang penuh sejarah.

Memang pada kenyataannya pembakaran Banda Aceh yang dibakar 26 Maret 1873 lalu membuat catatan sejarah menjadi samar-samar karena tidak ada lagi bangunan yang tersisa. Meski Masjid Raya Baiturrahman yang sekarang menjadi catatan bahwa Aceh masih ada di bangun kembali oleh Belanda, tetap saja tidak terlihat sebagai masjid yang dulu di bangun oleh Sultan Iskandar Muda,

Kuta dalam Darut Donya, gedung-gedung pemerintahan, toko-toko di wilayah perdagangan, rumah rakyat, semuanya hilang tanpa bekas. Yang tertinggal sekarang hanya makam-makam ulama besar, kandang-kandang (makbarah) sultan dan keluarganya dan bangunan lain yang menjadi bukti kebanggaan hanya jadi dongeng saja.

Terkadang mengesalkan adalah sikap orang-orang (baik lembaga maupun masyarakat) yang tidak terlalu peka terhadap peninggalan sejarah yang bernilai estetika dan bernilai jual wisata tinggi contohnya saja Lamuri yang sekarang sedang proses pembebasan dari penjualan untuk lapangan Golf.

Peningalan sejarah yang adapun jarang terawat, misalnya rumah Cut Nyak Dien yang terletak di Lampisang dan  Museum Aceh sangat jarang di buka pada hari libur sehingga bukan salah para generasi muda juga yang kurang peduli peninggalan indatunya dan para pemuda yang punya perhatian lebih pada sejarah Aceh kadang-kadang harus kecewa dengan kalimat indah “museum tutup”.

Jadi, siapa yang seharusnya merawat dan menjaga nilai ketuaan kota Banda Aceh ini? Jawabannya ya siapa lagi kalau bukan kita masyarakat Aceh baik tua maupun muda baik pemerintah maupun rakyat jelata dan lebih khususnya mahasiswa yang belajar tentang sejarah, sepertinya semangat kita untuk melirik kota tua ini sangat di butuhkan sebelum melanjutkan ke daerah-daerah lain yang kaya oleh khazanah sejarah.

Dasar negara ini ditampung oleh dua kekuatan yaitu nasehat para orang tua dan semangat para pemuda, bagaimana? Siapkah Kita? Semoga…. (Nita juniarti, Penulis mahasiswi Sejarah Kebudayaan Islam UIN Ar-Raniry)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *