Gubernur Aceh: Demokrasi di Aceh Mengacu kepada Ajaran Islam

BANDA ACEH | AcehNews.net – Suatu negara dapat disebut demokratis jika di negara tersebut sudah berkembang proses-proses menuju kondisi yang lebih baik dalam pelaksanaan supremasi hukum, penegakan HAM, dan menjunjung tinggi kebebasan berekspresi serta prinsip kesadaran dalam menghargai pluralisme.

Hal itu disampaikan, Gubernur Aceh, Nova Iriansyah, sebagai pembicara kehormatan pada diskusi publik terkait Demokrasi Sebagai Pilar Pembangunan Aceh yang digelar Himpunan Mahasiswa Pascasarjana Aceh-Yogyakarta (Himpasay) Kamis (8/7/2021) di Banda Aceh.

“Untuk kondisi yang saya sebutkan tadi, demokrasi Indonesia sudah mengalami banyak kemajuan. Bahwa ada kekurangan di sana sini, itu bisa saja terjadi karena faktor kebijakan oknum, bukan karena landasan hukum. Sama halnya di Amerika di mana kasus-kasus rasial masih kerap terjadi,” jelas Nova.

Sementara demokrasi di Aceh, kata Gubernur Nova, juga berbeda dengan daerah lain lantaran karakter sosial budaya masyarakat Aceh yang tidak sama dengan daerah lain. Dari kacamata agama misalnya, sebut Gubernur, masyarakat Aceh adalah mayoritas muslim, sehingga ajaran Islam selalu menjadi acuan dalam kehidupan masyarakat di daerah ini. Sehingga, dalam konteks tertentu sistem demokrasi di Aceh akan mengacu kepada ajaran Islam.

Misalnya, berbicara tentang kebebasan, menurut Gubernur, pada dasarnya sama dengan daerah lain. Tetapi kebebasan individu di Aceh dikatakan harus berpatokan kepada norma dan ajaran Islam. Sedangkan untuk parameter lain yang berkaitan dengan pembangunan daerah, yang berlaku di Aceh adalah sama dengan daerah lain.

Dalam pemaparannya Gubernur juga mengutip pandangan Robert A. Dahle, seorang ahli politik dari Yale University, Amerika Serikat yang menyebutkan setidaknya ada lima prinsip demokrasi yang harus ada dalam sistem pemerintahan.

Seperti adanya kontrol atau kendali atas keputusan pemerintahan selama menjalankan mandatnya, adanya pemilu yang teliti dan jujur dengan mengutamakan partisipasi aktif masyarakat, hingga adanya hak memilih dan dipilih bagi setiap masyarakat sesuai aturan yang berlaku.

Selain itu juga harus adanya kebebasan mengakses informasi sehingga sistem pemerintahan berjalan transparan, serta adanya kebebasan masyarakat sipil sehingga memberikan dorongan bagi warga negara yang merasa lemah untuk dapat memperkuat diri.

“Kebebasan masyarakat sipil terkait beberapa aspek, seperti kebebasan berkumpul, kebebasan berpendapat dan berserikat, kebebasan berkeyakinan, dan kebebasan dari sikap diskriminasi. Dengan kebebasan ini, warga menjadi leluasa menyampaikan aspirasi secara terbuka,” kata Gubernur Aceh dari Partai Demokrat tersebut.

Untuk poin-poin itu, lanjut Nova, Aceh mengalami kemajuan yang sangat pesat. Bahkan dalam survey perkembangan demokrasi Indonesia yang diselenggrakan BPS pada tahun 2018, Aceh menempati posisi pertama sebagai daerah dengan pertumbuhan demokrasi yang terbaik.

“Semangat demokrasi inilah yang mewarnai proses pembangunan Aceh saat ini. Sebagaimana kita ketahui bersama, parlemen di Aceh begitu dinamis dengan kehadiran partai politik lokal, sehingga memberi ruang lebih luas kepada masyarakat untuk terlibat di dalamnya,” ujar Gubernur.

Hal itu, menurut Gubernur merupakan sebuah kekhususan yang membuat Aceh berbeda dengan daerah lain di Indonesia. “Dengan semua kebebasan itu, tentunya mendorong sistem Pemerintah di Aceh berjalan lebih hati-hati,” ujarnya lagi.

Lebih lanjut, Gubernur juga memaparkan, pengawasan sistem pemerintahan di Aceh begitu ketat, sebab lembaga pengawasannya begitu banyak. Selain DPRA/DPRK, ada pula kelompok masyarakat dan individu yang disebuy sangat kritis terhadap gerak pembangunan Aceh.

Di satu sisi, menurut Gubernur, kebebasan seperti itu mendorong pemerintah lebih berhati-hati dan harus transparan dalam menjalankan kebijakannya. Namun di sisi lain, terkadang kebebasan itu juga disebut tidak lagi menerapkan sendi-sendi etika yang benar.

“Hal seperti ini tentu saja sangat tidak elok, karena sudah di luar etika demokrasi itu sendiri,” kata Nova.

Namun begitu, Gubernur Nova mengaku tetap berpikir positif dengan kebebasan yang ada sekarang. Setidaknya Pemerintah di Aceh, kata dia, senantiasa berjalan pada jalur yang seharusnya.

Gubernur berharap semangat demokrasi ini akan lebih berkembang lagi, sehingga masalah etika juga menjadi pertimbangan dalam menyampaikan pendapat.

Diskusi yang berlangsung di Aula Dinas Komunikasi Informatika dan Persandian Aceh itu menghadirkan sejumlah pemateri, seperti Guru Besar UIN Ar-Raniry Banda Aceh Prof. Drs. Yusny Saby, MA., Ph.D, Kepala Dinas Komunikasi Informatika dan Persandian Aceh Marwan Nusuf, hingga Akademisi Fakultas Hukum Universitas Abulyatama Wiratmadinata.

Kegiatan yang dibuka secara virtual oleh Gubernur Aceh, Nova Iriansyah itu juga diikuti Ketua TP PKK Aceh, Dyah Erti Idawati, Sekretaris Umum HIMPASAY, Amirul Haq, Ketua Himpunan HIMPASAY, Dede Adistira, Ketua Panitia, M. Khatami, serta para mahasiswa dari sejumlah kampus di Aceh.

Ketua Himpunan HIMPASAY, Dede Adistira, dalam sambutannya menyebutkan, diskusi itu digelar menyikapi kondisi demokrasi di Aceh guna melahirkan sejumlah hasil untuk disampaikan ke publik.

“Tujuannya untuk mencerdaskan publik. Agar memberi pemahaman kepada masyarakat terkait etika komunikasi dalam kehidupan berdemokrasi di Aceh,” ujar Dede.

Akademisi Fakultas Hukum Universitas Abulyatama Wiratmadinata, dalam pemaparannya menyebutkan, pada dasarnya apapun bentuk demokrasi yang dianut di Indonesia harus berlandaskan pancasila.

Hal itu lantaran Indonesia adalah negara yang berlandaskan pancasila. Demikian juga di Aceh yang secara undang-undang menerapkan syariat Islam, menurut dia harus menyesuaikan dengan nilai-nilai syariat Islam.

“Misalnya demokrasi kita bertentangan dengan sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa maka demokrasi itu tidak boleh dipraktekkan di negara Indonesia,” ujar dia.

Sementara dalam konteks demokrasi di Aceh sebagai daerah yang secara undang-undang menerapkan syariat Islam, menurut Wira juga tidak mungkin bertentangan dengan syariat Islam.

Wira menyebutkan, orang-orang sering terjebak dengan pemahaman bahwa demokrasi itu adalah kebebasan yang tidak ada batas. Hal itu membuat sejumlah orang kerap bertindak di luar koridor konstitusi dan hukum.

“Misalnya menggunakan pendekatan ujaran kebencian, hoax, fitnah dan bentuk lain yang tak sesuai dengan adab dan akhlak. Apalagi berdampak pada perpecahan di tengah masyarakat, maka tidak bisa digunakan di Aceh,” ujar Wira.

Bentuk demokrasi yang paling tepat diterapkan di Aceh, menurut Wira, adalah demokrasi yang sesuai dengan adab dan akhlak yang diajarkan dalam Islam.

“Kalau kita detailkan lagi dalam adab penyampaian pendapat dalam konteks Aceh, maka tidak boleh bertentangan dengan tata krama, sopan santun, bahasa yang baik. Karena agama kita mengajarkan demikian,” papar Wira.

Sementara itu pemateri lainnya, Guru Besar UIN Ar-Raniry Banda Aceh Prof. Drs. Yusny Saby, MA., Ph.D, dalam pemaparannya menyebutkan macam-macam demokrasi yang dianut negara-negara di dunia. Semua itu memiliki karakteristiknya tersendiri.

Namun, kata Yusny Saby, yang juga terpenting bagi generasi muda adalah mengawal para pelaku demokrasi yang merupakan politisi agar tidak melenceng dari garis yang seharusnya.

Prof. Yusny mengatakan, politik bukanlah segala-galanya. Di atas politik ada agama, akhlak, moral, adab, etika, hingga kepatutan.

Namun Prof. Yusny juga mengingatkan para mahasiswa untuk tidak membenci politik. Para mahasiswa dituntut untuk paham politik agar tidak menjadi korban politik.

“Disinilah peran anda. Melihat pelaku demokrasi ini, sudahkah mereka itu berada di perannya masing-masing,” ujar Prof. Yusny.

Menurut Prof. Yusny, boleh saja para pelaku demokrasi yang merupakan politisi menjadi kader partai. Namun kemudian seharusnya menjadi kader bangsa dan menjadi negarawan.

“Jangan sampai pelaku demokrasi sampai meninggalkan khittahnya sebagai pemegang demokrasi,” demikian tutupnya. (Saniah LS)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *