Distamben Putuskan Pengelolaan Batu Giok Harus di Aceh  

BANDA ACEH – Dinas Pertambangan dan Energi Aceh menghimbau kepada para penambang batu alam di sejumlah wilayah di Aceh agar tidak mengambil batu giok secara berlebihan karena dapat merusak lingkungan.

Hal itu dikatakan Kepala Distamben Aceh, Said Ikhsan, usai pertemuan antara Komisi I DPR Aceh dengan Gubernur Aceh, Kapolda Aceh, dan Gabungan Pecinta Batu Alam Aceh di serbaguna, DPR setempat, Selasa (17/2/2015) di Banda Aceh.

Said mengatakan, proses pengolahan batu mulia/giok Aceh harus dilakukan di Aceh. Jikapun tidak diolah di Aceh, maka orang yang membawa bongkahan mentah batu Aceh harus mendapatkan persetujuan dari Gubernur.

Menurut Said, pengambilan batu alam saat ini semakin marak dilakukan di sejumlah wilayah di Aceh, “Namun, pihaknya belum bisa melarang masyarakat mengambil batu alam karena potensinya masih sangat banyak,”ungkapnya.

Untuk itu, diperlukan regulasi untuk mengatur dan menjaga batu alam ini dengan baik, sehingga tidak terjadi konflik antar sesama penambang batu alam. Tapi secara tehnik persoalan batu dan sumber daya alam sudah diatur dalam Undang-Undang No. 23 2004 dan khusus di Aceh juga diatur dalam Qanun Aceh tentang pertambangan mineral dan batu bara.

“Setiap batuan tidak pernah ada yang sama, untuk menentukan harga dari setiap batuan sangat variatif, harga sangat ditentukan kekerasan dan kelangkaan. Potensi batu mulia kita sangat lengkap, karena dipengaruhi struktur geologi dan wilayah sebarannya ditengah dan seluruh Aceh,”papar Said.

Dikatakannya, dengan banyaknya potensi batu di Aceh tersebut, Said meminta agar masyarakat untuk tidak mengabai kelestarian alam, sehingga tidak mengundang bencana dikemudian hari. “Jika ini diabaikan, maka tidak tertutup kemungkinan pemerintah akan bertindak layaknya memberhentikan penambangan emas,”terangnya.

Sementara itu, Ketua Komisi I DPR Aceh, Abdullah Saleh menyatakan, banyak persoalan yang terjadi di lapangan sejak munculnya batu giok Aceh, sehingga masyarakat harus proaktif dalam merespon dinamika yang terjadi di masyarakat, salah satunya masalah batu mulia.

“Ledakan yang terjadi baru-baru ini, sangat cepat dan bahkan terjadi insiden berdarah baru-baru ini di Nagan Raya,” ujar  Abdullah Saleh dari Fraksi Partai Aceh tersebut.

Oleh karena itu, ia meminta kepada instansi terkait dalam mengambil kebijakan untuk memperhatikan aspek adat yang ada di masyarakat setempat. Misalnya ada hak-hak adat yang ada dimasyarakat, mungkin selama ini terabaikan.

“Contoh kasus Nagan, jika pendatang menghargai adat setempat, tentu tidak menimbulkan konflik seperti sekarang ini,” sebut Abdullah Saleh.

Menjawab itu, Asisten I Sekda Aceh, Iskandar A. Gani mengatakan, permasalahan ini perlu diskusikan lebih lanjut dengan instansi terkait, sehingga potensi tersebut bisa dikembangkan. Bedasarkan PP Nomor 16 dan UUPA, maka perlu dibuat sebuah aturan, fenomena batu di Aceh banyak terjadi dalam masyarakat dan juga mengganggu sistem pemerintahan dan rumah tangga.

Ketua GaPBA Aceh, Nasrun Sufi menyatakan, potensi menjamur batuan di Aceh merupakan hal yang sangat positif dan perekonomian untuk masyarakat. Namun, perlu dilakukan perbaikan-baikan agar tidak merusak lingkungan.

“Untuk itu, GAPBA Aceh sudah membuat draf regulasi dan sudah mempunyai perwakilan di 15 kab/kota di Aceh. Untuk itu, kita perlu sebuah laboratorium yang yang memadai di Aceh supaya kita tidak salah dalam penamaan batu,” ujarnya.

Selain itu, Nasrun juga meminta Aceh untuk memikirkan kampung pengrajin batu seperti di Suka Bumi, agar para pengrajin tersebut lebih terorganisir dan tertata. (agus)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *