Catatan dari Luka Tsunami Aceh  

AcehNews.net – Waktu itu jarum jam menuju pukul 08.00 WIB, tepatnya  sebelas tahun yang lalu, jarum jam seolah terhenti ketika musibah itu terjadi. Pada 26 Desember 2004 silam, tragedi Tsunami meregut ribuan nyawa para syuhada Aceh. Dan hari ini, 11 tahun tsunami Aceh, bertepatan pada 26 Desember 2015, orang yang kehilangan keluarganya ramai berkunjung ke kuburan massal Ulee Lheue, Banda Aceh dan Siron, Aceh Besar.

Kebiasaan ini pasca tragedi itu setiap setahun sekali peringatan atau saat hari lebaran Idul Fitri, mereka yang selamat, orang tua, anak, istri, atau suami, serta saudara yang ditinggal melakukan kunjungan, menaburkan bunga, membaca doa, dan yasinan, diunggukkan tanah perkuburan massal yang mereka tidak tahu persis dimana letak jasat orang yang disayangi, korban keganasan Sang Laut.

Terlihat olehku, gerbang kuburan Massal Ulee Lheue, Banda Aceh dipenuhi dengan parkiran sepeda motor  dan di samping kanannya ditaruh sebuah meja dengan timba bunga di atasnya dengan tulisan “sumbangan seikhlasnya untuk bunga,”. Beberapa orang mengambil bunga dan menaburkan di batu nisan tak bernama, inilah kuburan massal itu.

Terlihat olehku lagi, beberapa keluarga terlihat duduk melingkar sambil membacakan yasin. Pun kesibukan lain terlihat, ketika orang-orang memandangi foto-foto tsunami 2004 terjadi, ada pula lukisan-lukisan. Seorang ibu paruh baya menangis tersedu-sedu, rupanya dia melihat salah satu foto ketika proses penguburan massal terjadi di Ulee Lheue. Dia terdiam saat ditanya mengapa menangis, air mata it uterus berjatuhan dan aku membiarkannya terus menangis dan berhenti menanyakannya lagi.

“Saya kehilangan dua anak dan satu cucu, rasanya baru kemarin mereka di sini bersama dengan saya,”tiba-tiba suara itu keluar dari ibu yang menangis tadi. Dia menjawab pertanyaanku. Namanya Wardiah(54). Warga Pungee Blang Cut ini masih menangis ketika menjawab pertanyaan itu.

Dialog singkat itu mengingatkan tentang terjadi tragedu itu, luka itu, 11 tahun, mereka yang kehilangan orang-orang yang dicintai, saat melihat foto-foto itu spontan menangis, tak kira berapapun usia dan jenis kelami. Inilah karena luka yang masih membekas.

Khairina (22)  yang ada dikuburan itu dan ikut menyaksikan deretan foto-foto itu ikut bercerita, kini aku yang membisu mencoba menjadi pendengar yang baik tanpa membabibu pertanyaan. Cukup mendengar yang kulakukan. Karena etika sebagai jurnalis aku merasa harus mendengar.

“Saya kehilangan banyak saudara sebelah ayah, kakak kandung selamat tapi rumah dan isinya dibawa tsunami,setelah tsunami dapat rumah bantuan, Alhamdulillah bisa bangkit lagi dan sekarang hidup dengan baik,” cerita warga asli Meulaboh.

Entahlah, sebagai perempuan aku ikut menangis, aku merasakan meski aku tidak ada dalam sederetan kisah-kisah itu. Aku jadi ingat, Ismuhul Fadhil (21), mahasiswa PGMI UIN menceritakan kisahnya kepadaku.

Ketika terjadi tsunami kawanku itu dan keluarganya di Sabang dengan jelas dapat menyaksikan gelombang tsunami menyapu rumah-rumah. Ia juga kehilangan kakeknya pada masa itu dan merasa sangat sedih namun sekarang menganggap bahwa musibah itu sudah berlalu dan sekarang waktunya untuk bangkit.

Seorang kawan menepuk bahuku, aku menoleh dan kemudian berkata “sebentar ya”. Kemudian aku ikut berdoa diantara orang-orang yang berkunjung, meski aku tak tahu apa saudaraku juga terkubur di sana. Karena para syuhada ini adalah juga saudara-saudaraku seiman.

Setelah selesai membaca doa, aku melihat beberapa anak-anak berlari-lari atau sekedar berceloteh ringan dengan ibunya tentang tsunami dahsyat itu. Doa dan bunga dipajatkan di kuburan massal Ulee Lheue, Banda Aceh. (nita juniarti)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *