Bubur Asyura dan Tradisi Gampong Meunasah Manyang

AcehNews.net – Dua hari menjelang 10 Muharram 1443 H atau 19 Agustus 2021 M, ibu-ibu dan remaja putri di Gampong (desa) Meunasah Manyang, Kecamatan Lhoknga, Kabupaten Aceh Besar, sudah mulai ‘gerilya’ menghimbau secara lisan warga gampong untuk mulai mengumpulkan bahan-bahan yang dibutuhkan untuk membuat i bu Asyura atau bubur Asyura.

Warga beramai-ramai secara sukarela memberikan bahan-bahan sesuai kemampuan masing-masing. Ada yang menyumbangkan beras, kelapa, gula pasir, garam, ubi, jagung muda, nangka matang, pisang hingga beureune. Bahkan ada yang menyumbangkan uang yang kemudian digunakan untuk membeli bahan-bahan yang kurang dari yang sudah disumbangkan warga sebelumnya.

Selain itu, uang juga dapat digunakan untuk membeli bahan bakar untuk memasak. Sedangkan peralatan memasak seperti beulangong atau beulanga besar untuk memasak daging kuah beulangoeng dan peralatan lainnya sudah tersedia di balai perempuan di gampong.

Bukan saja menyumbangkan bahan-bahan untuk diracik menjadi i bu tahunan tersebut, warga juga bersama-sama saling bahu-membahu memasak bubur tersebut pada hari yang telah disepakati, tepatnya pada 10 Muharram.

Proses memasak dilakukan pagi-pagi sekali. Ada yang memeras kelapa untuk diambil santannya, ada yang memotong bahan-bahan bersumber dari buah-buahan seperti ubi jalar, pisang, nangka dan ada juga yang membantu mencuci bersih bahan-bahan yang harus direbus terlebih dahulu seperti beras, kacang hijau dan jagung.

Hampir tengah hari saat i bu selesai dimasak, jumlahnya empat beulanga besar karena hitungan bahan dan jumlah penerima harus disesuaikan. Kemudian beberapa ibu-ibu yang dituakan digampong duduk mengelilingi bubur yang sudah masak dan mulai membagi-bagikan dalam kantong plastik ukuran setengah kilogram dengan jumlah yang sama untuk kemudian dibagikan ke seluruh rumah warga, baik yang datang memasak maupun yang tidak datang.

“Nyoe i bu Asyura, mandum harus ta joek, hana meuceh yang jak maguen atawa hana jak, Insya Allah berkat,” ujar tetua gampong kami. (Ini bubur Asyura. Semua warga harus diberikan, tidak mesti yang datang memasak saja, tetapi yang tidak datang juga dibagikan, Insya Allah berkah,red).

Kemudian warga yang datang memasak membawa pulang bubur tersebut sekaligus membagikan bagi warga yang tidak datang yang tinggal satu dusun atau satu lorong dengan mereka.

Ada banyak referensi lisan tentang sejarah hadirnya bubur Asyura di lingkungan masyarakat Aceh, meskipun hanya wilayah Aceh Besar, Pidie dan sekitarnya yang melaksanakannya. Sedangkan wilayah Aceh Utara, Lhokseumawe serta wilayah pantai timur lainnya tidak lazim dengan prosesi ini.

Penelitian naskah kuno yang dilakukan oleh Fakhriati, Puslitbang Lektur dan Khazanah Keagamaan Jakarta yang berjudul Pengaruh Syiah dalam Kehidupan Masyarakat Aceh (Refleksi atas Naskah Hikayat Hasan Husain dan Nur Muhammad) menyebutkan secara gamblang bahwa peringatan hari Asyura yang diperingati di Aceh berkaitan dengan peristiwa gugurnya cucu Nabi Muhammad SAW dalam peristiwa Karbala.

Karbala sendiri merupakan perang yang menjadi puncak permusuhan terbelahnya kaum Sunni dan Syiah diseluruh dunia sebagaimana dituliskan oleh Karen Amstrong dalam Sepintas Sejarah Islam (2000). Perang Karbala ini membunuh 72 orang yang ikut dalam rombongan Husein menuju Kufah (Irak), terdiri dari 32 orang prajurit berkuda dan 40 orang pejalan kaki, sisanya adalah perempuan dan anak-anak.

Tepat pada tanggal 10 Muharram 61 H, 4000 pasukan yang dipimpin oleh Umar bin Sa’ad bin Waqqash menyerang rombongan ini dan ikut membunuh Husein.

Selain menyajikan bubur, masyarakat juga melaksanakan puasa sunnah pada 10 Muharram tersebut yang juga dikenal dengan nama puasa Asyura. Keutamaan puasa ini adalah dapat menghapus dosa setahun lalu sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh HR. Muslim. (Raihal)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *