Berkah Pinang bagi Pejuang Ekonomi Keluarga Dimasa Pandemi

Para pekerja memilih pinang di Pabrik UD 69.
| Saniah LS

AcehNews. Net – Pandemi Covid-19 yang melanda tanah air, pada Maret 2020, telah berdampak pada sektor perekonomian masyarakat. Banyak masyarakat kehilangan sumber mata pencarian karena pembatasan aktifitas dan ruang gerak pada waktu itu dan tak sedikit pula kehilangan pekerjaan karena PHK besar-besaran terjadi.

Namun di masa pademi Covid-19, bisnis
beli pinang masih stabil, meski awal pandemi permintaan buah pinang di Aceh dari eksportir Medan, Sumatera Utara, sempat turun. Kondisi ini tidak berjalan lama, beransur-ansur harga pinang kering naik. Dari Rp18 ribu per Kilogram, naik menjadi Rp23 ribu/Kg, dan pada 17 Mei 2021, kemudian turun menjadi Rp20 ribu hingga Rp21 ribu/Kg. *

Puluhan kaum perempuan terlihat sibuk membelah dan milih buah pinang kering, di salah satu pabrik pinang di Gampong (desa) Paya Rabo Lhok, Kecamatan Sawang, Kabupaten Aceh Utara, Provinsi Aceh. Sementara beberapa lelaki berusia muda, mengangkat, menimbang, menuangkan, dan menjemur pinang dari pengempul Kota Sabang, Kabupaten Aceh Besar, Bireuen, dan Aceh Utara.

Pabrik pinang Usaha Dagang (UD) Pinang Aceh Sumatra, salah satu pabrik pinang di Kecamatan Sawang. Pabrik yang memulai bisnisnya pada 2018 ini, memiliki sekitar 50 pekerja perempuan dan lima pekerja laki-laki. Kaum perempuan yang bekerja sebagai buruh harian di Pabrik UD Pinang Aceh Sumatra berusia 12 hingga 70 tahun.

Umumnya mereka adalah ibu rumah tangga yang menjadi tulang punggung bagi keluarga dan anak perempuan yang membantu orangtua saat libur sekolah/kuliah. Upah yang didapat dari membelah dan memilih buah pinang kering dapat membantu meningkatkan perekonomian keluarga.

Para pekerja menimbang pinang yang dibelah. | Saniah LS


Menurut pengakuan salah seorang pekerja, upah yang didapat biasa dipergunakan untuk kebutuhan sehari-hari, membangun atau merehab rumah, membeli perabot rumah tangga, biaya sekolah/kuliah, beli pakaian, bedak, dan kebutuhan lainnya.

“Uangnya buat kebutuhan sehari-hari. Apalagi suami saya sudah meninggal dunia baru-baru ini. Sementara anak-anak sudah besar dan berkeluarga,” kata Zainabun (56), yang tinggal di Desa Rambung Payong, sekitar 3 Kilometer dari pabrik. **

Usai shalat subuh, Srik, Nisah, Saribanun, Zainabun, Kathijah, Sarinah, dan Halimah (diantara pekerja perempuan lainnya), bergegas melanjutkan pekerjaan rumah, menyuci, memasak, dan membersihkan rumah.

Pukul 6.30 pagi, para pejuang ekonomi keluarga yang berasal dari empat desa di Kecamatan Sawang, yaitu Paya Rabo Lhok, Paya Rabo Timu, Lancok, dan Rambung Payong, berjalan kaki dan ada yang naik sepeda motor, menuju Pabrik UD Pinang Aceh Sumatra yang terletak di Desa Paya Rabo Lhok.

Pekerja sedang membelah pinang. | Saniah LS


Seperti yang diceritakan, Srik (45), selesai menyelesaikan pekerjaan rumah, ibu dari tiga orang anak ini, bergegas menyiapkan rampago (alat belah pinang dalam bahasa Aceh), dan berjalan kaki, sekitar 100 meter, menuju pabrik pinang UD Pinang Aceh Sumatra.

Sesampai di sana, Srik yang sudah memakai masker, duduk diantara tumpukan pinang kering. Tangannya yang sudah cekatan membelah pinang menggunakan rampago. Pinang yang sudah terbelah itu dimasukannya ke dalam karung kecil.

“Nanti pas mau pulang, pinang yang sudah saya belah ini saya timbang dan catat di buku. Nanti jumlahnya akan ditotal dan kemudian upah pun akan dibayar. Biasa saya ambil tiga bulan, atau sebulan sekali. Kalau ambil harian, jika memang ada keperluan mendesak,” ucap Srik bersemangat.

Upah membelah pinang, diterima Srik Rp300,- per Kilogram. Sedangkan untuk upah pilih pinang dibayar per Kilogramnya Rp500,-. Sebulan aku Srik, ia bisa menerima Rp1 juta hingga Rp1,5 juta.

“Alhamdulillah, meski masa pandemi, kami masih bisa bekerja, sementara banyak juga saudara saya tidak bekerja, karena pabrik tutup,” ucap Srik.

Masa pandemi yang sudah hampir setahun lebih ini, telah merubah tatanan kehidupan. Jika dulu Srik dan kawan-kawannya bekerja tanpa perlu menjaga jarak dan pakai masker. Kini hal itu menjadi hal yang terbiasa harus dilakukan atau kebiasaan baru.

Hal yang sama juga dilakukan para pekerja perempuan lainnya. Mereka tiba di pabrik, mencuci tangan pakai sabun, mengenakan masker, dan menjaga jarak, saat bekerja. Mereka juga bekerja dengan bahagia. Sesekali dari mulut mereka keluar kata-kata canda, sebagai hiburan mengusir kepenatan. Ada juga yang menyanyi.

Sedangkan di sudut gudang lainnya terlihat belasan lainnya sedang memilih buah pinang yang merah dan kehitaman. Pinang-pinang ini nanti direbus dan kemudian dikeringkan. Pabrik UD Pinang Aceh Sumatra menyediakan jenis pinang kering dalam bentuk bulat, belah, dan pinang merah (sudah direbus).

Perempuan berusia 12 tahun, Sarinah, sedang libur sekolah. Dia ikut membantu ibunya, Halimah, membelah pinang. Sarinah tidak terlalu banyak bicara dan agak pendiam. Matanya terus ke arah rampago, sebab ia belum begitu cekatan.

Ketika ditanya uangnya nanti buat beli apa? Sarinah cuma senyam senyum. Ibunya membantu menjawab, “buat bantu keluarga dan uang jajan”. Tawa pun pecah, mendegar jawaban ibu dari Sarinah.

Sempat Ditutup dan Tak Bekerja

Pekerja laki-laki yang bertugas menjemur pinang. | Saniah LS


Tak terasa jarum jam sudah menujukan pukul 10 pagi. Buah pinang yang dibelah sudah mulai banyak terisi di karung. Sementara itu para pekerja laki-laki ada yang membawa buah pinang dengan beca motor dari tempat timbangan para pengumpul pinang untuk di letakan di gudang lainnya. Ada juga yang sibuk mengangkat karung buah pinang, dan kemudian menuangkan ke ruang terbuka untuk dijemur.

“Syukur lah kami masih bisa bekerja dimasa pandemi Covid-19 ini. Ada sebagian masyarakat kita malah kehilangan pekerjaan,” celetuk Srik sambil meneruskan membelah pinang. Maklum Srik pekerja paling lama di pabrik tersebut.

Srik menceritakan, awal pandemi dan saat Pemerintah Aceh dan Kabupaten Aceh Utara membuat kebijakan lockdown, untuk mencegah penyebaran virus Corona hingga ke desa-desa, pabrik pinang UD Pinang Aceh Sumatra sempat ditutup. Dan puluhan pekerja kehilangan pendapatan.

“Tidak bekerja ya tidak ada upah, apalagi pabrik harus tutup karena lockdown dan Corona,” kata ibu tiga anak yang hanya lulusan SMA.

Hampir separuh kaum perempuan di Gampong Paya Rabo Lhok, Kecamatan Sawang, bekerja sebagai buruh harian lepas pabrik pinang milik Sudirman (48), yang memulai bisnisnya pada 2018 lalu. Sudirman memulai usaha sebagai pengumpul pinang. Di tanah milik orangtuanya, kemudian ia pun mendirikan pabrik pinang dan menampung pekerja tidak saja dari desanya tetapi juga dari desa lainnya.

“Pabrik tutup dan kami tidak bekerja. Kemudian kami menjumpai Bapak, minta pabrik dibuka dan biarkan kami bekerja mengikuti protokol kesehatan. Akhirnya Bapak setuju, pabrik dibuka dan kami kembali bekerja, walau saat itu permintaan pinang menurun,” cerita Srik lagi.

Akhirnya mereka bekerja kembali, mengikuti protokol kesehatan. “Kami dibagikan masker, disediakan sabun untuk cuci tangan, dan duduk nga boleh kerumunan, jaga jarak,” kata Srik.

Hampir setahun pandemi Covid-19 mendera semua sektor perekonomian masyarakat. Pemerintah pun memberlakukan New Normal dan tetap masyarakat diminta mengikuti protokol kesehatan.

“Alhamdulillah, 2021, permintaan buah pinang meningkat dan harga pinang pun naik. Paling tidak masih bisa bertahan dimasa pandemi ini. Kita berdoa semoga pandemi segera berakhir dan kondisi perekonomian kita semakin pulih,” kata pemilik Pabrik UD Pinang Aceh Sumatra, Sudirman, beberapa waktu lalu.

Srik, Nisah, Saribanun, Zainabun, Kathijah, Sarinah, Halimah, dan pekerja perempuan lainnya di pabrik pinang milik warga lokal ini, bisa terus menggepulkan ‘asap dapur’ rumahnya. Dan menabung untuk kurban, dan membiayai pendidikan anak-anak mereka hingga ke jenjang lebih tinggi.

Selain Srik, ada puluhan pekerja perempuan lainnya yang menompang hidup bekerja sebagai buruh lepas di pabrik pinang yang menerapkan sistim rasa percaya (sikap jujur) kepada pekerjanya.

“Siapa pun boleh datang bekerja di sini. Syaratnya cuma kejujuran. Biasa ramai bekerja itu saat libur sekolah dan selesai musim tanam padi. Karena masyarakat di sini, selain bekerja di pabrik, juga sebagai buruh tani,” kata Sudirman kepada AcehNews. Net, beberapa waktu lalu.

Hal ini diakui Anisah (26), meski single alias belum menikah, kehadiran pabrik seperti UD Pinang Aceh Sumatra di desa mereka sangat membantu meningkatkan kesejahteraan mereka yang dulu mengandalkan pendapatan sebagai buruh tani.

“Semoga pandemi ini cepat berakhir. Dan permintaan pinang terus meningkat agar kami bisa terus bekerja,” demikian harapnya. (Saniah LS)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *