1.556 Perempuan dan Anak di Aceh Mengalami Kekerasan

AcehNews.net|BANDA ACEH- Tingkat kekerasan terhadap anak dan perempuan terus meningkat dari tahun ke tahun di Provinsi Aceh. Hal ini disebabkan oleh kerdirnya pemahaman terhadap gender di Aceh yang selalu diartikan berhubungan dengan perempuan saja.

Hal ini dikemukakan Dekan Fakultas Psikologi UIN Ar-Raniry, DR Kusmawati Hatta saat memaparkan materinya pada Workshop Strategi Planning yang diadakan oleh Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) LP2M UIN Ar-Raniry Banda Aceh di ruang sidang Pascasarjana UIN Ar-Raniry  23-25 Maret 2016 lalu.

“Kasus itu seperti hukum Archimedes, jika ditekan atau jika ditutupi terlalu lama nanti ketika muncul akan menjadi masalah. Herannya pelaku kekerasan itu adalah seorang yang berilmu, yang seharusnya memberi contoh pada masyarakat,” kata DR. Kusmawati Hatta.

Lanjut Kusmawati, data dari Badan Pemberdayaan Perlindungan Perempuan dan Anak (B3PA) Aceh, tercatat 1.556 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak terjadi di Aceh dari 2012 hingga 2015. Dan kasus ini menurut Kusmawati terjadi merata di 23 kabupaten/kota di Aceh.

Rincinya,  Banda Aceh tercatat 298 kasus kekerasan dan sebanyak 178 kasus untuk anak. Aceh Utara tercatat 47 kasus, Abdya 13 kasus, 43 kasus di Aceh Tengah, Pidie Jaya 35 kasus.

“Itu hanya kasus yang tercatat, belum lagi kasus yang sudah diselesaikan ditingkat Lembaga Adat, LSM dan lain-lain,” urai DR. Kus (panggilan akrab Kusmawati Hatta).

Mirisnya, menurut Dr. Kus yang selama ini kampanye stop kekerasan terhadap perempuan dan anak hanya dilakukan dengan memasang spanduk, berteriak tidak suka kekerasan namun kekerasan terhadap anak dan perempuan terus terjadi dari tahun ke tahun di Aceh.

Setiap kabupaten dan Kota memiliki karakteristik kekerasan terhadap perempuan, misalnya di Langsa kekerasan terhadap perempuan lebih banyak kasusnya, di Aceh Utara lebih banyak kasus kekerasan terhadap anak, sedangkan di Aceh Selatan kasusnya seimbang, papar DR Kus.

“Soal kekerasan banyak tidak dilaporkan atau jika sudah dilaporkan biasanya ada rasa iba dan tekanan ekonomi terhadap si korban. Jika suami dilaporkan, istri akan memohon untuk dilepaskan karena anak-anak kelaparan, artinya kekesaran punya korelasi dengan ekonomi,” jelas Dr. Kus lebih dalam.

Sebagai Saran yang harus dilakukan adalah mengembalikan fungsi Ayah dan Ibu, melakukan kajian terhadap hukum KDRT, perumusan pemahaman gender sesuai budaya lokal dan sesuai syariat Islam, pelatihan pada mahasiswa tentang gender hingga ia menjadi agen perubahan nantinya, mencari cara juga untuk pelecehan terhadap disabilitas dan adanya klinik psikologi untuk korban. (nita juniarti)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *