Zulfahmi Ikhsan, Belajar Ikhlas dari Tragedi Tsunami  

Gelombang Tsunami pagi itu meninggalkan sejarah pahit baginya, luka yang ia rasakan mungkin tak mampu untuk ia ceritakan kembali. Berjuang melawan gelombang hitam menghadapi teguran Sang Khalik.

Pagi itu, 26 Desember 2004 silam, semua mata tak henti mengeluarkan air mata. Tatapan kosong yang terlihat diraut  wajah mereka, menggambarkan seperti tidak mempunyai semangat hidup kembali. Berlari dibalik kerumunan sampah,  bahkan sampai berpisah dengan anak, suami, dan istri mereka.

Adalah Zulfahmi Ikhsan, mahasiswa Universitas Islam Negeri UIN Ar-Raniry, Banda Aceh, anak korban tsunami yang kehilangan ibu kandungnya dan ia kini hanya tinggal bersama ayah dan kakaknya. Setelah ibunya meninggal terhempas dalam gulungan gelombang tsunami, 10 tahun silam yang hingga kini tidak pernah ditemukan jasadnya.

Kebiasaan hari minggunya, si piatu tsunami itu, pagi hari melewati hari-harinya dengan latihan bola kaki bersama temannya di lapangan Blang Padang. Tiba-tiba gempa begitu besar. Karena ketakutan ia pun langsung pulang ke rumah di Lampaseh kota,  “Alhamdulillah keluarga saya masih selamat saat gempa, karena saya pikir sudah tidak apa lagi, saya pun keluar rumah dan melihat toko-toko yang hancur,” ceritanya pada AcehNews.net beberapa hari lalu.

Tiba–tiba terdengar suara gemuruh ombak, semua orang berlarian.  Karena kata salah seorang warga di Lampaseh, ie ka di ek (air sudah naik). “Saya langsung pulang, sesampai di rumah saya tidak menemukan Ibu,Ayah, dan kakak di rumah”.

Karena air sudah naik ia pun berlarian menyelamatkan diri. Lanjut Fahmi,  dia langsung lari naik ke atas runtuhan toko terdekat, dan sempat dibawa oleh air hingga ke jalan Muhammad Jam depan Masjid Raya, Baiturrahman.  Mahasiswa yang sering di panggil “Sancez” oleh teman-temannya itu menjelaskan,  “Ketika di dalam air saya tidak bisa melihat apa-apa, banyak kayu yang menimpai saya, hingga saya tenggelam lalu tersangkut kayu”.

Ceritanya lagi, “Kaki saya terluka parah akibat terkena runtuhan kayu saat di dalam air, Saya pikir, saya memang sudah meninggal dunia. Alhamdulillah ada abang-abang yang tidak saya kenal, menolong lalu membawa saya ke Masjid Raya Baiturrahman, dan di sinilah saya bisa selamat, atas pertolongan Allah”.

Mahasiswa UIN Ar-Raniry ini bingung harus ke mana. Pikirannya kosong saat itu. Semua orang sibuk mencari keluarganya sendiri, pun begitu dengan dia. Perasaan bercampur aduk melihat keadaan waktu itu, mayat berserakan dengan bangunan yang sudah rata dengan tanah.

Setiba di Masjid Fahmi baru tenang, karena beberapa saat kemudian ia pun bertemu dengan ayah an kakaknya. Setelah berpisah saat gelombang tsunami.Fahmi mengungkapkan kesedihannya,  saat itu dirinya bersama dengan ayahnya hendak ingin pulang ke kampungnya di Sigli, tapi uang tidak  ada. “Sehingga kami memutuskan untuk bermalaman di Masjid Baiturrahman, dan mencari ibu ke esokan harinya”.

Ceritanya lagi, “Aku dan Ayahg, hanya mengikuti di mana arah keramaian, tidak tahu harus ke mana. Katanya sih ke arah Utara, di sana aman dan juga ada bantuan makanan dari warga setempat yang tidak terkena tsunami”.

“Isan…”. Suara panggilan dari Ibunya, Fahmi pikir itu suara ibunya,  ternyata hanya ilusi sebab ketika dia menoleh ke belakang dan melihat nya, tidak ada satu orang pun. Ia dan ayahnya terus berusaha mencari Ibu. “Kami sudah berusaha mencarinya, tapi tidak ketemu juga. Saya dan ayah pasrah, mungkin ibu sudah ‘aman’ di surga sana, Setelah itu ke esokan harinya kami pun memutuskan untuk pulang saja ke kampung, dengan menumpang mobil angkutan L300,” tutur fahmi.

Pada 26 Desember 2014, tepat 10 tahun hari peringatan tsunami. Aceh kini kembali  bangkit. Begitu juga Fahmi, saat ini ia sedang menempuh pendidikan jenjang S1 nya di jurusan Komunikasi Penyiaran Islam, prodi jurnalistik di UIN Ar-Raniry. Ia tetap terus bersemangat dan berjuang untuk bisa menyelesaikan kuliah, demi membahagiakan Ayahnya.

Ia mengaku mencari uang sendiri untuk tetap bisa berkuliah, dengan berjualan pulsa di kampusnya. “Saya memang sudah menyukai dunia bisnis sejak dulu, makanya saya berinisiatif untuk menjual pulsa di kampus, dan juga berjualan baju di rumah,” kata mahasiswa semester 5 UIN Ar- Raniry.

Karena memang sudah mahir dalam berbisnis, kini ia pun mulai mencari uang sampingan dengan menjadi seorang fotografer. Bermula dari hobi, ia pun mulai memamfaatkan keahliannya dalam memainkan lensa, untuk mencari uang tambahan guna membiayai uang kuliahnya.

“Awalnya saya belajar dari kawan, dan lama-lama saya suka dengan kamera dan belajar photografi otodidak. Dan penghasilan dari foto, seperti wedding cukup lumayan untuk uang tambahan,” imbuhnya.

Harapnya, semoga ia tetap bisa berjuang hidup dan menjadi orang berguna untuk masa akan datang. “Allah akan terus menolong orang yang mau berusaha, dan beriman kepadanya. Semoga tegurannya bisa menjadikan pelajaran bagi kita semua,” katanya mengakhiri cerita duka yang sudah terkubur selama 10 tahun. (zuhri noviandi)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *