Yusran, Sang Penyelamat Cucak Hijau  

Masih ingat serangan ribuan ulat bulu di Jawa Timur beberapa waktu lalu? Ulat bulu masuk ke rumah penduduk dan menyerang tanaman pertanian. Ini lantaran keseimbangan ekosistem rantai makanan terganggu. Sehingga meledaknya suatu populasi karena predatornya, burung mulai berkurang jumlahnya. Sebab banyak ditangkap manusia demi kesenangan.

Adalah  Yusran Ketong, seorang nelayan sungai di Desa Kereng Bangkirai, Kecamatan Sebangau, Kabupaten Kota Palangkaraya, Provinsi Kalimantan Tengah. Pria yang sering dipanggil “Bapak Mona” oleh tetangganya ini memiliki penangkaran cucak hijau. Burung yang selama ini sering diincar para penangkap burung di Taman Nasional Sebangau.

Lelaki bertubuh semampai ini sudah sering membaca berita di koran lokal di kotanya, mengenai maraknya penangkapan burung dan upaya penyeludupan ke luar Kota Palangkaraya. Meski sudah ada Undang Undang No.25/1990, tentang Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistem yang bisa menjerat para pelaku dengan sanksi kurungan 3 hingga 5 tahun.

Yusran juga sering melihat10 hingga 20 penangkap burung, setiap harinya masuk dan keluar dari Taman Nasional Sebangau. Saat itu Yusran sedang mencari ikan di sungai. Para penangkap burung kata Yusran, melewati berbagai jalur sungai masuk ke taman nasional, untuk mencari cucak hijau, kacer, dan muray batu.

“Saya yakin, burung-burung di Taman Nasional Sebangau sudah berkurang jumlahnya. Setiap hari satu orang membawa pulang sedikitnya 10 burung. Setiap hari ada 100 hingga 200 ekor burung dijual ke penyeludup. Ini tidak boleh dibiarkan karena burung-burung di taman nasional akan punah,” papar Yusran kepada saya, 22 Agustus 2014, alasan mengapa dia tergerak untuk mengembangbiakkan cucak hijau di rumahnya.

Yusran tinggal cukup lama di desa yang dulunya ditumbuhi subur kayu-kayu meranti rawa. Meranti rawa dalam bahasa Dayak adalah kereng bangkirai. Pria yang hanya mengecap pendidikan tingkak SLTA ini sangat peduli dengan masalah maraknya pencurian burung di Taman Nasional Sebangau akhir-akhir ini. Untuk itu, pada pertengah 2013, Yusran mengusulkan kepada Balai Taman Nasional Sebangau, agar tanah kosong di samping rumahnya dipakai sebagai penangkaran burung.

Yusran memilih menangkar cucak hijau. Karena “bird green” inilah yang sering ditangkap besar-besaran di Taman Nasional Sebangau. Selain itu tidak menutup kemungkinan dia juga akan mengembangbiakkan jenis burung yang lainnya.

Terhitung awal Juni 2014, kesibukannya tidak saja mencari ikan di sungai dan menjadi tukang. Kini, bersama Lisnanti (istrinya), Yusran memiliki kesibukan lain yaitu menangkar 19 ekor cucak hijau yang didapatkan dari Balai Taman Nasional Sebangau.

Jika pagi, sekitar pukul 07.00 WIB, Yusran ke sungai untuk mencari ikan, istrinya membantu memberikan makan, membersihkan kandang, memberi air, dan memberi vitamin burung. Setelah itu, sekitar jam 09.00 WIB, baru Lisnanti mengayuh sepeda tua miliknya, berjualan lemang, keliling di desanya hingga siang hari. Per potong dijualnya Rp5.000, sedangkan sebatang Rp25 ribu. Tidak semua lemang yang dibawanya terkadang habis terjual.

“Tidak setiap hari saya berjualan. Seminggu dua kali. Sekali berjualan saya membawa 10 batang lemang. Hasilnya, Alhamdulillah, bisa membantu memenuhi kebutuhan hidup kami dan membeli jangkrik. Biar cucak hijau cepat bertelur, ” ujar bawi kelahiran 1973 ini kepada saya. Bawi dalam bahasa Dayak artinya perempuan.

Tak ada raut lelah di wajahnya. Meski setelah berjualan diterik matahari yang menyengat. Pengkuannya kepada saya, ia senang-senang saja menjalani rutinitas tersebut, membantu suaminya yang tidak bisa memberi makan, membersihkan burung serta kandang, dan memberi vitamin karena mencari ikan di sungai saat pagi hari.

“Sore, pulang mencari ikan, suami mengecek kembali kondisi kandang, burung, dan paling sering itu memastikan air selalu ada dimangkuk, karena burung ini tidak tahan panas dan bisa mati,” sebut ibu empat anak yang cuma tamatan SMP dengan logat Dayak yang kental.

Lisnanti kembali mengatakan, ia sangat senang bisa membantu suami menangkar cucak hijau. Ibu rumah tangga ini jadi banyak mengetahui jenis burung dan manfaatnya bagi ekosistem. “Bapak bilang burung menjaga keseimbangan alam,” kata perempuan berusia 41 tahun ini lagi.

Penangkaran cucak hijau  dibangun oleh Balai Taman Nasional Sebangau pada Juni 2014 dengan biaya sebesar Rp15 juta. Penangkaran cucak hijau yang tak jauh dari rumah Yusran itu, berdinding papan dan beratap seng. Ukuran penangkaran chloropsis sp (nama latin cucak hijau) sekira 10×5 meter.

Pada pertengahan 2013, Yusran datang ke Balai Taman Nasional Sebangau, pria berusia 55 tahun ini mengutarakan idenya untuk menangkar burung cucak hijau, agar burung berwarna hijau yang memiliki panjang tubuh sekitar 22 centimeter, dengan ciri-ciri betina memiliki pipi dan tenggorokan berwarna kuning, sedangkan jantan berwarna hitam berkilau, ini tidak punah.

“Ada 16 ekor cucak ijo yang jantan dan tiga betina. Kini sudah dikawinkan tiga pasang. Tapi sayang hingga kini belum bertelur. Katanya, biar bertelur harus diberi makan jangkrik. Aku tidak punya banyak uang untuk beli jangkrik. Kalau ada uang lebih dari upah tukang atau dari menjual ikan baru aku belikan jangkrik. Tapi cukup untuk dua hari,” sebutnya.

Balai Taman Nasional memberi pakan burung gratis kepada Yusran selama tiga bulan. sejak Juni 2014. Setelah itu Yusran akan membeli sendiri, dengan biaya sendiri. Termasuk biaya untuk membeli jankrik, agar tiga pasang burung yang sudah dikawinkannya itu, bisa cepat betelur. Dan kini Yusran, sedang memikirkan bagaimana cara beternak jangkrik, jadi dia tidak perlu lagi membeli.

Yusran tidak saja melakukan penangkaran burung cucak hijau di rumahnya. Dia juga tak henti-hentinya mensosialisasikan, pentingnya menjaga hutan dan marga satwa yang ada di dalamnya. Seperti burung cucak hijau yang memiliki peran penting dalam mengendalikan lingkungan.

Burung mempunyai peran yang sangat penting di dalam mengendalikan lingkungan. Manfaat burung di alam bagi kehidupan atau fungsi ekologi burung antaranya berperan dalam proses ekologi, sebagai penyeimbang rantai makanan dan ekosistem, bahkan bisa berfungsi sebagai bioindikator perubahan lingkungan.

Membantu menyuburkan tanaman, khususnya tanaman yang mempunyai perbedaan antara posisi benang sari dan putik. Sebagai predator hama (serangga, tikut, ulat, dan sebagainya). Penyebar atau agen bagi beberapa jenis tumbuhan dalam mendistribusikan bijinya.

Alasan kuat inilah mengapa, Yusran tak sungkan menegur dan mengingatkan teman-temannya yang sering menangkap burung di taman nasional dekat desa mereka. Meski tak sedikit cercaan yang didapatinya. Terkadang sampai dia dikatakan dengki.

Namun perkataan itu tidak mengurunkan niat baiknya.Yusran yakin jika penangkaran burung cucak hijaunya ini berhasil dikembangkan, harapan dia, penangkap burung bisa mengikuti jejaknya. Tidak lagi menangkap burung. Mengubah paradigma mereka. Mencari uang tidak lagi dengan menjual burung yang ditangkap di hutan atau taman nasional, melainkan hasil penangkaran sendiri.

“Mereka marah-marah. Aku bilang kalau kalian terus seperti ini biar aku suruh orang balai tangkap kalian. Mereka semakin marah, apalagi ketika aku usulkan ke orang balai untuk membuat Perda, agar burung tidak terus ditangkap, mereka makin marah dan katakan aku dengki,” papar Yusran.

Diakhir pertemuan singkat itu, Yusran mengatakan, tingginya harga burung cucak hijau dan dan alasan persoalan perut (perekonomian yang terhimpit), sebab mengapa teman-temannya menjadi penangkap burung di Taman Nasional Sebangau.

“Mereka tergiur dengan harga burung cucak hijau. Jantan dijual Rp350 ribu per ekor dan betina Rp150 ribu. Jika sehari bisa mendapatkan 10 burung cucak hijau, mereka bisa mendapatkan uang di atas Rp1 juta. Cukup menggiurkan bukan? Tetapi mereka tidak memikirkan akibat jika burung-burung itu punah,” tutur Yusran.

Tak putus asa, sang penyelamat cucak hijau ini terus menasehati teman-temannya. Karena dia yakin suatu hari teman-temannya itu akan sadar, betapa pentingnya menjaga hutan dan satwa yang ada di dalamnya dari kepunahan. “Jangan lagi menangkap burung, biar burung tidak punah,” pesannya singkat.

Penangkapan burung besar-besaran di hutan maupun taman nasional bisa mengurangkan jumlah predator hama. Akibatnya, banyak tanaman pertanian akan diserang hama dan hasil pertanian akan berkurang. Serta dampak lain, berkurangnya jumlah tanaman di hutan, karena sang agen penyebar biji-bijian dan penyubur tanaman ini punah.

“Solusinya, agar burung tidak punah dan tidak ada lagi penangkapan besar-besaran. Selain melakukan penangkaran burung rakyat, Pemerintah Daerah Kalteng, perlu membuat Perda khusus, sanksi bagi penangkap dan pembeli burung dari Taman Nasional Sebangau,” usul  Yusran mengakhiri wawancara singkat saya di kediamannya di Desa Kereng Bangkirai. (Saniah LS)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *