Talsya,
Wartawan dan Penulis yang Terlupakan

Teuku Ali Basyah atau yang lebih dikenal dengan nama Talsya adalah wartawan dan penulis yang sezaman dengan Ali Hasjmy, sembilan tahun lebih muda karena lahir pada 23 Juni 1925. Pernah menjadi wartawan Harian Pelita dan menjadi ketua PWI Aceh.

Dalam siaran sebuah situs bernama catalogue.nla.gov.au, dicatat ada tiga buku karangan Talsya, yakni: “Batu Karang di Tengah Lautan”, “Modal Perjuangan Kemerdekaan”, dan “Sekali Republiken Tetap Republiken”. Namun sayang,  saya tidak memiliki buku-buku itu sehingga tidak pernah membacanya.

Walaupun sezaman, apabila dibandingkan dengan kemasyhuran Ali Hasjmy, nama Talsya seakan menghilang ditelan waktu. Ia tenggelam oleh nama Ali Hasjmy yang melegenda, setelah menjadi Gubernur Aceh dan juga menjadi pengurus organisasi ulama di Aceh. Selain sama-sama sebagai penulis dan wartawan, Talsya dan Ali Hasjmy punya kesamaan lain, yakni, sama-sama memiliki awal nama ‘Ali’ Basyah dan ‘Ali’ Hasjmy.

Saya pernah membaca nama Talsya di buku-buku sastra. Namun pertemuan saya dengan tokoh ini pertama kali terjadi pada akhir tahun 2014. Ada dua kali, dan kedua-duanya karena diajak oleh seorang sosiolog peneliti independent dari Istanbul, Turki, Dr Mehmet Ozay yang tertarik mendengar pendapat tokoh Aceh, tua, dan muda.

Kesan saya pada Talsya. Dia adalah seorang laki-laki yang berbicara berapi-api, saya langsung teringat pada teriakan-teriakan mahasiswa saat unjuk rasa. Talsya yang sudah 90 tahun lebih, masih berkata-kata senyaring itu.

Hari itu kami mengundang Talsya untuk menghadiri semua pertemuan di Sultan II Selim ACC (Aceh Community Center) di mana ia akan menjadi pembicaranya. Akan tetapi undangan itu ditolak dengan alasan kurang sehat. Pada kali kedua kami datang, ia masih menolak untuk bicara di seminar.

Dr Mehmet Ozay menghadiahkan sebuah buku karangannya sendiri yang bertajuk “Kesultanan Aceh Darussalam – Antara Fakta dan Legenda” kepada Talsya. Di saat itu kulihat, Talsya amat senang karenanya. Dipanggillah cucunya yang baru pulang kerja dan dengan senyum dan suara gembira, ia menceritakan bahwa sahabat mudanya dari Turki memberikan kepadanya sebuah buku sejarah. Ia sangat amat sangat senang mendapatkan hadiah sebuah buku dari Dr Mehmet Ozay.

“Tidak ada anak dan cucuku yang suka sejarah, mereka tidak mahu mengambil jurusan sejarah. Itu banyak buku sudah rusak bertumpuk tidak ada yang mau membacanya,” kata Talsya menelan ludah pahit di usianya yang senja. Ia juga kecewa terhadap sikap pemerintah dan universitas di Aceh yang tidak mengangkat sejarah. (Thayeb Loh Angen adalah aktivis di PuKAT /Pusat Kebudayaan Aceh dan Turki)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *