Qanun RTRW Aceh Berpotensi Perusakan Lingkungan  

BANDA ACEH –  Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Aceh telah mendaftarkan Permohonan Uji Materiil atau Judicial Review (JR) atas Qanun No.19 Tahun 2013 Tentang Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) Aceh.

Hal itu dilakukan karena dalam Qanun yang disahkan pada 31 Desember 2013 oleh DPR Aceh itu masih banyak terdapat pelanggaran yang berpotensi terhadap perusakan lingkungan secara sistematis di Aceh.

Direktur Walhi Aceh, Muhammad Nur menyatakan, bahwa permohonan Uji Materiil ini merupakan bagian dari advokasi WALHI dalam merespon polemik tata ruang yang tertuang dalam produk hukum daerah tersebut.

Uji materi Qanun RTRW Aceh ditempuh setelah sebelumnya berbagai upaya penolakan tata ruang dilakukan oleh Walhi dan masyarakat sipil. Namun, upaya tersebut belum juga membuat pemerintah Aceh mengakomodir masukan dan partisipasi masyarakat Aceh.

Menurutnya, masih terdapat beberapa bentuk pelanggaran baik secara prosedural maupun substansial dalam Qanun RTRW tersebut. Pelanggaran-pelanggaran ini berpotensi membuka akses terhadap perusakan lingkungan secara sistematis di Aceh.

Jelasnya, pada Rancangan Qanun RTRW Aceh telah mendapat persetujuan bersama antara Gubernur dengan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA)  pada saat sidang paripurna yang dilaksanakan di DPRA pada Desember 2013.

“Pasca pembahasan dan persetujuan bersama tersebut, muncul berbagai polemik diantaranya menyangkut tidak adanya nomenklatur maupun pengaturan terkait Kawasan Ekosistem Leuser (KEL),” jelasnya.

Selain itu juga tidak adanya pengaturan tentang Kawasan Strategis Nasional (KSN) sebagaimana yang diamanatkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang dan Wilayah Nasional (RTRWN).

“Qanun Tata Ruang Aceh mengabaikan pengaturan wilayah kelola mukim sebagai wilayah hak asal usul masyarakat adat di Aceh padahal wilayah kelola masyarakat diakui dalam putusan Mahkamah Konstitusi,” kata M. Nur, di Banda Aceh, Jumat (10/10).

Selain itu terjadi pula pengurangan luas hutan Aceh, tim terpadu menyetujui Aceh mengubah fungsi hutan seluas 145.982 hektar, termasuk hutan lindung dan konservasi menjadi areal penggunaan lain (APL) seluas 79.179 hektar. Kemudian, penunjukan kawasan hutan baru seluas 26.465 hektar.

Walaupun dalam qanun tersebut mendapat catatan perbaikan dari Kementrian Dalam Negeri akan tetapi qanun tersebut tetap diberlakukan.“Gugatan Uji Materi ini bukanlah langkah akhir yang dilakukan oleh Walhi ditengah pemerintah Aceh yang tidak mau mendengar masukan dan mengabaikan ruang partisiasi mayarakat, “ katanya mengakhiri percakapan dengan wartawan, Jumat (10/10) di Banda Aceh. (agus)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *