Pak Im, Manusia Perahu di Penjaringan (I)

AcehNews.net – “Saya tidak punya keluarga di sini. Rumah juga tidak punya.  Jadi daripada saya hidup menumpang di rumah warga, lebih baik saya tidur di sampan ini saja”.

Dia lah lelaki tua berusia 70 tahun yang tidur di sampan miliknya. Sampan itu menjadi rumah bagi Ibrahim. Bagi pria lanjut usia (Lansia) kelahiran Makasar ini, berselimut dingin dan sepi di dalam perahu miliknya yang berukuran 1.5 x 6 meter sudah terbiasa. Sudah 7 tahun Ibrahim hidup sebatang kara di atas perahu, di Kampung Penjaringan Pasar Ikan, Jakarta Utara. Matanya pun sudah mulai tak jelas lagi penglihatannya.

“Saya tak ingin merepotkan warga, walau semuanya sudah seperti keluarga saya sendiri, namun kehidupan warga di sini juga susah, sama seperti saya. Tidak enak rasanya jika harus menjadi beban ,” tutur pria tua yang penglihatannya sudah tidak terang lagi ini.

Ibrahim (70), manusia perahu di Penjaringan, Jakarta Utara. | Mafa Yulie

Ibrahim (70), manusia perahu di Penjaringan, Jakarta Utara. | Mafa Yulie

Awalnya Pak Im (panggilan akrabnya), datang ke Kampung Penjaringan ini ikut sebagai awak kapal ikan dari Kota Surabaya. Setelah bertahun-tahun bekerja dan lalu lalang antara Surabaya dan Jakarta, akhirnya Ibrahim memutuskan untuk menetap di Kampung Penjaringan ini, setelah perusahaan tempat ia bekerja gulung tikar.

Bermodalkan perahu yang dibelinya dengan cara mengangsur kepada seorang pembuat sampan, Ibrahim pun memulai profesinya sebagai pendayung penyebrangan di Sunda Kelapa.  Sunda Kelapa adalah salah satu cagar budaya yang merupakan cikal bakal Kota Jakarta atau Batavia dulunya.

Sebelum Kampung Penjaringan atau yang sering juga disebut sebagai “Kampung Akuarium”, diratakan dengan tanah oleh pemerintah setempat saperti saat ini, sangat banyak turis-turis manca negara ataupun domestik yang berkunjung serta berkeliling dengan sampan mengitari kampung tersebut.

Kalau dulu pendapatan para pendayung sampan penyebrangan yang ada di sana Rp10 hingga Rp15 ribu. Menurut warga setempat lumayan untuk bertahan hidup. Namun sekarang semuanya telah berubah tidak seperti dulu lagi. Banyak penduduk yang telah berpindah setelah pasca penggusuran. Walau masih ada juga beberapa keluarga yang masih bertahan di tenda-tenda pengungsian.

“Saya hanya ingin menghabisi sisa hidup saya di sini, tua dan meninggal dunia di Kampung Akuarium yang saya cintai ini. Saya ikhlas atas apa yang telah terjadi diseluruh hidup saya, baik dan buruk adalah yang terbaik. Saya akan terus berusaha dan berjuang hingga sampai akhir usia  saya nanti, karena berbuat dengan ikhlas tanpa pernah mengeluh adalah bentuk  rasa syukur  yang paling indah,” tuturnya.

Kini pak Im semakin tua dan renta. Sampan yang menjadi sumber penghasilannya pun sudah semakin rapuh dan ikut menua bersama usianya. Namun Pak Im, tidak mau berpasrah kepada nasib, Pak Im tetap berusaha bertahan hidup dengan cara menyewakan sampannya, untuk para pemancing, selain karena jarang ada lagi yang ingin dibawa berkeliling kampung dengan menaiki sampan.

Pak tua yang sebatang kara ini pun sudah tidak sanggup lagi membawa sampan keliling, sebab mata tuanya pun semakin rapat tertutup oleh lemak katarak yang menyebabkannya hampir tidak dapat melihat dengan jelas lagi. Tulang-tulangnya semakin rapuh, dilumat oleh penyakit rematik, hingga Pak Im tak sanggup lagi beranjak dari duduknya. Pak Im tak sekuat dulu lagi. (Mafa Yulie)

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *