MaTA: Kejahatan Hutan di Aceh Semakin Meluas

BANDA ACEH – Masyarakat Transparanasi Aceh (MaTA) merilis, kejahatan hutan di Aceh semakin meluas. Hal ini terjadi mulai dari pemberian izin usaha, pengawasan penebangan, pengangkutan, pengolahan, perdagangan antar pulau sampai dengan ekspor kayu dan hasil hutan lainnya.

Temuan itu dipaparkan pada pembukaan training investigasi dan advokasi kasus korupsi tata kelola hutan dan lahan, yang dihadiri 15 perwakilan masyarakat di Aceh, di Banda Aceh, Selasa (28/10). Training ini dipandu Emerson Juntho dan Tama S dari Indonesian Corruption Watch (ICW).

Koordinator Bidang Antikorupsi dan Monitoring MaTA, Baihaqi mengatakan, meluasnya kejahatan kehutanan di Aceh tersebut diduga disebabkan oleh para pihak (pengusaha) dan pengambil kebijakan secara bersama-sama, terutama pada kejahatan korupsi dan pencucian uang, yang pada akhirnya perilaku korupsi ini dapat melemahkan atau menghilangkan integritas dalam sistem pengelolaan hutan.a

“Lemahnya pengawasan sehingga memungkinkan atau memudahkan pelaku kejahatan melakukan kejahatan kehutanan,” tegas Baihaqi. Berdasasarkan data MaTA, tambah Baihaqi, hutan Aceh pada tahun 2008 seluas 3.523.925 Ha (60,37%) dan pada tahun 2010 seluas 2.291.080 ha (40,36%). Data ini,katanya, menunjukkan bahwa telah terjadi pengurangan luas kawasan hutan (deforestasi) sebesar 20,01%.

Pada tahun 2011-2012 terdapat penambahan laju deforestasi 21.464,7 Ha. Adapun luas lahan kritis di Aceh tahun 2011 yakni 744.954 Ha, yang setara dengan 21 persen dari total kawasan hutan, yaitu 3.599.288,68 Ha. Salah satu penyebabnya adalah upaya penggunaan perangkat anti korupsi dan anti pencucian uang di sektor kehutanan masih menjadi sebuah hal baru. Bahkan ada yang menganggap, penggunaan kedua perangkat hukum tersebut akan membuat penanganan tindak pidana di sektor kehutanan menjadi tidak fokus dan berakibat pada lemahnya penyidikan dan penuntutan di pengadilan.

“Akan tetapi sebenarnya penegak hukum dapat memilah apakah sebuah kasus hanya berkaitan dengan kejahatan kehutanan, ataukah juga berkaitan dengan kejahatan korupsi dan pencucian uang,” imbuhnya.

MaTA menganggap, selama ini baru KPK yang berhasil membongkar kasus korupsi bidang tata guna lahan dan hutan. Akan tetapi, kapasitas KPK yang sangat terbatas jika dibandingkan dengan luasnya wilayah dan besarnya skala deforestasi, membuat penegakan hukum terkait dengan tata guna lahan dan hutan akan sangat tergantung pada performa Kepolisian, Kejaksaan dan partisipasi masyarakat.

“Untuk itu penyidik polisi dan kejaksaan harus benar-benar tegas pada penegakan hukum bagi pelaku pengrusakan hutan ini. Mulai tindak pidana pengrusakan hutan, sektor izin, tindak pidana pencucian uang dan sisi korupsinya,” harap Baihaqi.

Sementara itu, Koordinator MaTA, Alfian menjelaskan, untuk meminimalisir kejahatan hutan dan meningkatkan pemahaman dan kesadaran masyarakat akan pentingnya partisipasi publik dalam mendorong terwujudknya pengelolaan sektor kehutanan, sehingga pihaknya mengadakan training tersebut.

Tranining yang diberi tema “Investigasi dan Advokasi” kasus korupsi di sektor hutan itu, pihaknya turut mengundang perwakilan KPK dan T. M Zulfikar, aktivis lingkungan di Aceh sebagai narasumber untuk memberikan pemahaman tentang korupsi tata kelola hutan dan lahan. Menuerutnya, training tersebut dilaksanakan selama tiga hari, 28-30 Oktober 2014 di Hotel Mekkah Banda Aceh.

“Kegiatan ini bertujuan untuk meminimalisir tindak pidana korupsi sektor tata kelola hutan dan lahan,” pungkasnya. (harianaceh.co)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *