Alta Zaini dan Buku La Tahzan  

Siapa menyangka, lelaki berbadan kekar itu ternyata memiliki kisah sedih saat tsunami. Tsunami yang telah merenggut istri dan putri tersayangnya yang hingga kini jasadnya tidak ditemukan. Dia juga bisa meneteskan air mata, ketika harus menceritakan kembali kisah sedih tersebut yang kini sudah satu dekade dilaluinya.

Mata itu mulai memerah, sesekali jari telunjuk kanannya menyekat air mata yang akan jatuh. Alta Zaini mencoba menyembunyikan kesedihannya dan ingin menunjukan dirinya seorang lelaki yang tegar. Namun kesedihan itu akhirnya membuncah, butiran-butiran air bening itu pun jatuh dari kelopak matanya.

“Siapa yang tidak sedih. Sampai saat ini saya tidak pernah dimimpikan bertemu anak dan istri saya. Meski anak lelaki saya dimimpikan. Sampai saat ini juga, jasad istri dan anak perempuan saya tidak ditemukan,” kata Alta kembali menyekat air matanya dengan telunjuk tangan kanannya.

Masa tsunami terjadik, Alta dan anak lelakinya Jefri yang saat itu berusia 11 tahun dan kini sudah berusia 21 tahun  selamat dari tsunami.  Sementara istrinya bernama Nanik (38) dan putri kesayangannya Tasya (6) menjadi korban tsunami.

“Aku sempat stres berat. Selama setahun aku bicara sendiri, menyalahkan diriku sendiri, mengatakan Allah tidak adil, astagfirullah. Aku berjalan dan tidur di emperan toko dengan kain spanduk yang ku jadikan pakaian. Aku makan dari belaskasihan orang. Hingga bos ku menemukan aku dan mempekerjakan aku kembali di perusahaannya,” cerita Alta.

Alta tidak diberi tuntutan kerja dan tanggung jawab. Kerja yang diberikan untuk tak lain memberikan kesibukan sehingga diharapkan Alta bisa melupakan kisah sedih yang melukai hatinya.

“Kerjaku di depan komputer hanya browsing internet, berselancar di dunia maya, dan catting di friendster mencari pertemanan. Hingga akhirnya aku berkenalan dengan seorang sahabat yang tinggal di Surabaya. Dialah yang membuka mata dan pikiranku untuk tidak lama-lama bersedih dan membenah kembali kehidupanku,” kata Alta.

Sahabat Alta itu menghadiakannya sebuah buku La Tahzan Jangan Bersedih. Buku itu dibacanya dan akhirnya menyadarkan Alta ternyata buka dia saja yang terluka. Ada orang lain yang nasibnya lebih parah dari Alta, tidak tersisa apapun, kehilangan harta dan keluarga. Sementara Alta masih memiliki anaknya yang selamat dari tsunami.

“Sejak itu aku berjanji dalam diriku untuk tidak bersedih lagi, mulai berbenah diri dan memulai hidup baru. Dan kini aku dipercaya dan diamanahkan sebagai keuchik di kampungku, untuk itu aku lakukan kerjaanku itu dengan senang hati tanpa beban,” tuturnya.

Alta memoles desanya menjadi desa wisata. Dengan bantuan dana PNPM Pariwisata sebesar Rp75 juga pada 2008, dia pun membangun perekonomian di desanya  menjadi desa sadar wisata. Dengan situs tsunami Boat di Atap Rumah menjadi  objek wisata andalan untuk  membangun perekonomian masyarakatnya yang kebanyakan adalah korban tsunami.

“Ada delapan home industri, mereka adalah janda-janda tsunami. Memproduksi abon ikan tuna, ikan kayu (keumamah), dendeng ikan, dan sambal goreng. Semua di pasarkan di toko-toko souvenir yang ada di Banda Aceh, dan di tempat situs tsunami Boat di Atap Rumah,” kata Alta.

Dari Rp75 juta dana bantuan bergulir dari PNPM Pariwisata tersebut meningkat menjadi Rp150 juta dan dia pun bisa membangun banyak lagi home industri di desanya. Melihat keberhasilannya mengelola dana bantuan tersebut, pada 2011, PNPM Pariwisata kembali memberi dana batuan sebesar Rp100 juta.

“Alhamdulillah, banyak lapangan pekerjaan dan perekonomian yang bisa dibangun di sektor pariwisata. Dari  delapan home industri dan kini bertambah lagi dan mampu membuka lapangan pekerjaan baru di sektor pariwisata,” sebut Alta.

Tidak saja membangun home industri, masyarakat di desanya juga turut menjadi pemandu wisata dan distribusi pakir pun menambah pendapatan masyarakatnya. Bahkan Gampong Lampulo yang masyarakatnya umumnya adalah nelayan dan 30 persennya Pegawai Negeri Sipil (PNS) meraih Juara Harapan Desa Sadar Wisata Tingkat Nasional.

“Desa kami masuk limabelas besar dan Alhamdulillah menjadi juara harapan. Dan saya bersama tiga kepala desa lainnya di Indonesia berangkat ke China dan saya dipercaya mempresentasikan bagaimana saya bersama masyarakat membangun sektor pariswisata di desa kami yang terparah diluluhlantakan gempa bumi dan tsunami, 26 Desember 2014,” kata Alta.

Sebut Alta, dulu sebelum tsunami ada sekitar 6.500 jiwa atau 2.500 kepala keluarga (KK) yang tinggal di Lampulo. Setelah tsunami, 2005 hingga 2006 penduduk yang tersisa 1.500 jiwa atau 500 KK. Tapi karena perekonomian gampong meningkat, kini jumlah itu bertambah menjadi 5.800 jiwa atau 1.800 KK.

“Banyak masyarakat dari luar datang dan menetap di desa kami. Mereka umumnya nelayan dari luar Kota Banda Aceh, ada yang dari Aceh Utara, Pidie, Aceh Barat, dan bahkan Sibolga, Sumatera Utara,” ungkap Alta.

Alta tidak saja membenah dirinya dari kesedihan, tetapi juga membenahi desanya yang diratakan gelombang tsunami. Meningkatkan perekonomian masyarakatnya yang umumnya nelayan di sektor pariwisata. Kini Gampong Lampulo, dengan objek wisata tsunami Boat di Atap Rumah tidak pernah sepi dari kunjunga para turis asing maupun lokal. (saniah ls/acehtourism)

 

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *