Aleppo Memerah Darah, Selamatkan Rakyat Suriah

JAKARTA — Suriah memerah darah. Aksi Cepat Tanggap (ACT) terpanggil kembali mengirim Tim Sympathy of Solidarity (SOS) Syria gelombang ke VII sejak krisis kemanusiaan Suriah mengemuka, lima tahun silam. Pemberangkatan berlangsung di Kantor ACT di Menara 165 Jakarta, Rabu 4 Mei 2016.

Presiden ACT Ahyudin, mengatakan, masyarakat Indonesia sesungguhnya mahfum sebagai bangsa pecinta damai yang hidup dengan nilai-nilai luhur kemanusiaan. Krisis Suriah lebih dari cukup untuk membuat nurani manusia guncang.

“Saatnya kita berbuat nyata. Mungkin tim yang kita kirim tidak bisa menghentikan krisis, tapi setidaknya kami mewakili bangsa ini, menolak absen dari kepedulian global,” katanya melalui siaran pers yang diterima Republika.co.id, Rabu (4/5).

Menilik eskalasi krisisnya, Ahyudin menggugah Indonesia untuk berbuat lebih signifikan. “Bagaimana mungkin bangsa Indonesia bungkam Suriah banjir darah, warga sipilnya dibombardir bertahun-tahun, tak peduli korbannya anak-anak, perempuan bahkan manula tak bersenjata. Suriah memanggil begitu nyaring! Selamatkan rakyat Suriah!” ujarnya.

Hanya dalam hitungan jam sejak serangan terakhir di hari Jumat, pekan lalu, serangan berdarah yang menerjang Aleppo sudah menuai kecaman jutaan publik dunia. Tagar #AleppoIsBurning dan #saveAleppo pun memenuhi ragam linimasa di media sosial. Serangan atas fasilitas publik paling vital, yakni sebuah rumah sakit sipil di Al Quds merenggut kurang lebih 30 korban jiwa dan sedikitnya 62 luka-luka.

Bahkan, 24 jam sebelum serangan fatal ke rumah sakit sipil ini, pesawat milik militer Rusia melepas roket kendalinya dan menargetkan markas tim keamanan sipil di wilayah Atarib, Aleppo. Lima personil keamanan meregang nyawa dalam serangan udara yang tak imbang ini.

Aleppo, kota paling utara dan salah satu yang terbesar di Suriah, kini makin hancur tak berbentuk. Gempuran rezim Assad selama lebih dari dua pekan tanpa henti meluluhlantakkan ratusan fasilitas sipil di kota ini. Rezim Assad berkilah bahwa bombardir Aleppo sengaja dilakukan untuk merebut kembali kota terbesar di Suriah itu dari kontrol pihak oposisi yang menentang pemerintahannya.

Hingga hari ini, walau kecaman dunia memuncak hebat, Assad bergeming untuk tidak menghentikan serangannya ke Aleppo.

Dari balik bangunan sipil yang runtuh, tembok yang hancur, dan puing-puing sisa gempuran bom, Aleppo tampak jelas sedang memerah darah. Belasan ribu keluarga sipil di Aleppo kini sedang tertatih, terjebak dalam gempuran perang.

Menurut data UNHCR di bulan April 2016, jumlah orang yang tewas akibat konflik berdarah di Suriah mencapai 10.381 orang, sedangkan jumlah pengungsi yang tersebar di beberapa negara mencapai 4.842.896 orang. Rincian pengungsi; di Turki 2.749.140 jiwa, Lebanon 1.055.984 jiwa, Yordania 642.868 jiwa, Irak 246.123 jiwa, Mesir 119.665 jiwa, Afrika Utara 29.116 jiwa, dan Eropa 972.012 jiwa.

“Merespon hal tersebut, Insya Allah ACT akan segera menyalurkan bantuan senilai Rp 1 miliar dalam bentuk pangan, obat-obatan, serta kebutuhan darurat lainnya secara bertahap. Bantuan tersebut akan disalurkan oleh Global ACTion Team #SOSSyria,” kata Ahyudin.

Senior Vice President Global Philanhropy and Communications, N. Imam Akbari mengatakan, masyarakat dunia harusnya menjadikan keadaan penderitaan rakyat Suriah ini menjadi satu subyek isu kemanusiaan yang paling utama. Karena keadaan di Suriah kini menjadi problem kemanusiaan yang sangat luar biasa, dengan jumlah korban yang begitu banyak dan kemungkinan hadirnya perdamaian yang masih jauh dari angan.

“betapa luar biasa efek dari peperangan ini. Banyaknya eksodus warga Suriah meninggalkan tanah air tercintanya, merupakan pertanda bahwa keadaan di sana sudah teramat gawat. Tak ada pilihan lain kecuali harus menyelamatkan diri, sekian lama mereka hidup mencekam dengan tak ada jaminan hidup serta keamanan yang didapat mereka, tidak ada stok bahan pangan, tidak ada stok air bersih!” kata Imam, salah satu saksi mata yang sudah beberapa kali bertugas di sejumlah kawasan krisis global ini.

Kekejaman yang terjadi di Aleppo seharusnya menjadi duka masyarakat dunia. Derita yang membuncah di Aleppo sesungguhnya serupa dengan serangan teroris yang meneror Paris dan Brussel beberapa hari lalu. Walau nyatanya, sampai detik ini di Indonesia, bahkan dunia belum banyak simpati yang mengalir untuk Aleppo. Bahkan banyak yang nampak enggan untuk sekadar mengetahui apa yang sedang terjadi di Aleppo hari ini.

Semua bisu entah karena alasan apa. Padahal, serangan atas fasilitas publik dan akhirnya membunuh ratusan sampai ribuan jiwa warga sipil jelas adalah kejahatan kemanusiaan, tak peduli siapapun yang bertanggung jawab atas serangan ini.

Tim SOS Syria-ACT VII, mempercayakan Syuhelmaidi Syukur, Senior Vice President ACT sebagai Team Leader, didampingi Yusnirsyah Sirin dan Andika Rachman. Pekan ini, tim akan bertolak menunaikan bantuan untuk pengungsi dan korban serangan atas warga Suriah.

“Kami tidak bergerak sendiri. IHH, sebuah lembaga kemanusiaan global dari Turki, mitra kami dalam menyampaikan bantuan kemanusiaan. IHH-pun dalam kiprah kemanusiaannya di Indonesia, bermitra dengan ACT. Misalnya dalam penanganan pengungsi Rohingya yang mendarat di Aceh,” kata Syuhelmaidi.

Di ranah global pun, kata Syuhelmaidi, sejumlah sinergi dilakukan dengan apik demi menjangkau para penyandang krisis.

Selain bermitra, di sejumlah lokasi yang memungkinkan, lanjut Syuhelmaidi, ACT ikut menyalurkan langsung bantuan, terutama pangan dan medis. “Aksi Tim SOS Syria VII ini Insya Allah juga berperan menjadi penyampai info terkini dan akurat untuk mengedukasi Indonesia dan dunia. Jangan lupakan saudara-saudara kita yang dirundung kesulitan hidup akibat konflik Suriah,” kata Syuhelmaidi.

Sampai hari ini, komunitas kemanusiaan internasional, termasuk Aksi Cepat Tanggap harus segera menyusun rencana efektif untuk mendistribusikan bantuan sesegera mungkin sampai di Aleppo. Perlu aksi nyata sebagai doa terbaik untuk Aleppo, melindungi warga sipil Aleppo dari kekejaman rezim yang dianggap barbar. Jika tak bergerak cepat, maka kegelapan yang membungkus Suriah akan terus berlanjut, tanpa sama sekali muncul harapan bagi masa depan negeri Suriah.

Syria is our country and we want to go back there. We don’t know who is right and who is wrong, but I know we civilians are paying the price,” kata Hiba, seorang pengungsi Suriah di Damaskus, Lebanon. Konflik Suriah sudah menjejak setengah dekade. Terlepas dari siapa yang benar dan siapa yang salah, konflik ini telah menjadi krisis kemanusiaan terburuk, dan sudah menjadi konsekuensi logis bagi kita sebagai manusia untuk ikut peduli. (republika.co.id)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *